Rengganis sedang membaca seraya menemani Arwa tidur di kamar. Matanya menyipit ketika ia mendengar suara pintu dibuka, perlahan ia turun dari ranjang dengan memegang erat buku setebal 210 halaman di tangan.
"Ammar ...!" teriaknya saat membuka pintu kamar dan melihat Ammar berdiri dengan tas belanja di tangannya. "Kau belanja?"
Ammar mengangguk dengan wajah polos. "Ya," sahutnya santai.
"Lagi?" Rengganis melangkah mengikuti pemuda itu ke dapur.
"Ini keperluan dapur. Ardi bilang, kau harus banyak mengonsumsi buah dan sayur, jadi aku membelinya. Oh, ya, jangan makan sembarangan. Aku membeli beras merah organik untuk menggantikan beras putihmu."
Rengganis duduk dengan kedua tangan ia letakkan di dagu. "Kau cocok menjadi bapak rumah tangga. Apa aku harus bekerja dan kau di rumah, kalau kita menikah nanti?"
"Kau bicara soal menikah? Oh, God! Seriously?" Mata Ammar berkilau bak seekor anak kucing menatap Rengganis. "When?" tanyanya dengan penuh semangat.
"Secepatnya. Aku tidak ingin kau terus datang dan mengganggu. Jujur saja, aku menerimamu agar dosa tak selalu datang dalam diamnya kita."
Ammar mendesah senang. "Aku akan menikahimu, Rengganis. Secepatnya. Aku akan minta Ibu mengurus semuanya. Oh, ya, Ibu akan mengunjungimu pekan depan."
Rengganis menelan ludah gugup. "Apa ibumu tahu kalau Arwa ...."
"Ibuku tahu semuanya. Aku sudah katakan kepadamu, Ibu adalah wanita dengan hati seluas Samudra."
Rengganis memukul lengan pemuda itu dengan buku, "Kau terkadang menggemaskan."
"Buku apa yang kaubaca itu?" tanya Ammar ingin tahu.
"Oh, ini ... sebuah novel yang sejak awal membaca membuatku jatuh cinta. Tidak bisa ditebak apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Novel ini mengajarkan kepada kita, bahwa yang tampak buruk, tidak selalu buruk. Akan ada jawaban jika kita bersedia mencarinya. Juga tentang kekuatan dan kepasrahan manusia akan takdir-Nya. Bahwa hidup bukanlah Surga, tak akan pernah cukup indah untuk manusia."
Kini, Ammar yang menatap Rengganis dengan senyum tertahan. "Apa judulnya? Aku akan membeli itu untuk belajar memaknai hidup dan penilaian. Apa buku itu layak dibeli?"
"Hem ... sangat pantas untuk dimiliki. Aku yakin, bagian penutupan buku ini akan membuat pembaca bersyukur dan lebih bersyukur lagi atas hidupnya."
"Siapa penulisnya?" Ammar bangkit dan berniat merebut buku itu dari Rengganis.
"Judulnya Diana, penulis Dari Dee. Sungguh, kau akan menyukainya." Rengganis menatap buku bersampul biru itu, tersenyum dan perlahan mengerti, bahwa apa pun yang terjadi ia adalah manusia. Menyusun rencana bukanlah dosa, tapi bersiap menerima hasilnya adalah satu-satunya cara agar tiada rasa kecewa. "Aku suka tokoh Diana. Muda, tapi memiliki keyakinan dan kesabaran yang tidak dimiliki oleh orang dewasa," ucap Rengganis seraya meletakkan pembatas buku di halaman terakhir yang ia baca.
Ammar kembali duduk dan menuangkan air ke gelas di hadapannya. "Baiklah, lewati urusan buku. Bagaimana kabar Arwa?" tanyanya penuh semangat. Sejak bayi itu lahir, Ammar adalah satu-satunya orang yang mencari tahu kabarnya dua kali dalam satu jam.
"Dia rewel tadi malam, tapi sudah lebih baik. Pulanglah, Ammar. Jangan biarkan fitnah menguar dari nama kita." Rengganis menatap Ammar dengan mata menyipit.
"Baiklah, Tuan Putri. Aku akan pulang, tapi nanti aku akan menghubungimu untuk membicarakan tanggal pernikahan."
Pipi Rengganis berubah merah jambu, ia menunduk merasakan panas menjalar di wajahnya. "Pulanglah cepat!" serunya seraya menahan tawa dari balik telapak tangan yang menutupi wajahnya.
Beriring tawa dan langkah menggetarkan bahagia, Ammar berjalan meninggalkan Rengganis. Namun, ia berbalik sebelum membuka pintu. Ditatapnya Rengganis seraya berujar, "Rengganis. Ingatlah, kau dan aku adalah kita, dan kita, satu!"
"Ammar ... sungguh, kau tidak berbakat menjadi romantis!" Rengganis tertawa geli dengan kedua tangan menahan perut yang terasa sakit saat tertawa.
Setelah Ammar pergi, Rengganis kembali ke kamar untuk melihat Arwa. "Genap satu bulan usiamu, Sayang. Ibu akan memberimu harapan yang tidak pernah Ibu miliki dulu," ucapnya lirih seraya mengusap lembut pipi bayi yang sedang terlelap itu.
Rengganis memejamkan mata, ia teringat apa yang Nazwa katakan beberapa waktu lalu.
"Jangan percaya pada apa yang kaulihat, apa yang kaupikirkan. Karena sebagian besar penilaian manusia adalah godaan setan. Salatlah, tanyakan kepada-Nya apa yang harus kau percayai."