Rengganis

Dari Dee
Chapter #11

11. Mungkin Hanya Mimpi

Ammar sedang duduk di teras belakang ketika Fatimah mendekati dengan segelas kopi di tangan. Wanita itu tersenyum melihat wajah putranya kembali memiliki gairah. Sejak bercerai dengan Arini, Ammar jarang sekali bicara di rumah. Ia lebih sering menghabiskan waktu di luaran dan pulang hanya untuk istirahat.

"Apa yang kaupikirkan?" tanya Fatimah seraya meletakkan gelas di hadapan Ammar. "Gugup?" tanyanya lagi.

Ammar terkekeh, "Aku tidak gugup. Hanya sedang memikirkan cara untuk bicara kepada Ayah."

"Kau sudah dewasa, kehendak ayahmu tidak lagi penting. Kebahagiaanmu adalah yang utama," bisik Fatimah seraya mengusap lengan Ammar lembut.

"Ayah menjodohkan aku dengan putri temannya. Ibu tahu betapa sulit menolak keinginan orang tua itu."

"Ya, Ibu tahu. Tapi itu bukan alasan untukmu mengabaikan kebahagiaan diri sendiri. Rengganis adalah gadis yang layak untuk dimiliki, Nak."

Ammar mendesah pelan, ia setuju dengan pendapat sang ibu. "Kenapa Ibu tidak pernah berpikir untuk menikah lagi?" Ammar menatap ibunya lekat. Ia tahu, wanita itu masih menyimpan perasaan kepada ayahnya. Rasa yang besarnya tak berkurang meskipun sudah dikhianati.

"Ibu cukup bahagia tanpa pendamping, Ammar. Allah memberi dua putra yang selalu menjaga Ibu, apa lagi yang ingin dicari?"

Ammar selalu merasa beruntung karena terlahir dari wanita luar biasa. Tidak sekali pun keluhan terucap oleh sang ibu.

"Apa rencanamu setelah ini? Tanggal pernikahan kalian hanya beberapa hari lagi."

Ammar kembali bersandar, sudah dua hari ia menutupi rasa rindu kepada sang putra. "Aku berusaha menghubungi Arini ...."

"Kau masih mengharapkannya?"

"Tidak, Bu. Aku hanya ingin Zaneeka hadir di hari pernikahanku."

"Apa tanggapan Arini?"

Ammar menunduk dalam. Belum lama dirinya berhasil menemukan keberadaan sang mantan istri, ia bahkan menggadaikan harga diri dengan berlutut di hadapan keluarga Arini, hanya untuk meminta kontak wanita itu. "Dia tidak bersedia mengantarkan Zaneeka," ucap Ammar lemah.

"Apa yang akan kaulakukan?" Fatimah mengusap lengan Ammar lembut.

"Aku tidak tahu. Mungkin aku akan bersujud untuk mendapat izin bertemu dengannya."

Jauh di lubuk hatinya, Ammar merasa bersalah telah pergi. Ia meninggalkan putranya karena rasa kecewa, padahal bisa saja dirinya menuntut hak asuh atas Zaneeka saat itu.

Terkadang, hati yang merasa sedang tersakiti adalah yang paling mudah melakukan kesalahan.

***

"Kau akan menikah." Fitri memeluk Rengganis yang sedang mencoba gaun pengantinnya.

"Aku tidak percaya, perkenalan yang singkat justru yang akan menemani langkahku yang panjang," ucap Rengganis pelan. Ia masih ingat raut tulus di wajah Ammar, ketika meminta untuk menjadi ayah bagi Arwa. "Dia melamarku, tapi tidak untuk menjadi suami. Dia melamarku, untuk menjadi Ayah Arwa. Bagiku, itulah hal terbesar yang kubutuhkan, Fit."

"Ya, sebab yang mencintaimu belum tentu mencintai Arwa. Tapi yang mencintai Arwa, sudah pasti mencintaimu."

"Ammar ...?" Rengganis berbalik setelah melihat bayangan calon suaminya di cermin. "Apa yang kaulakukan di sini?" tanyanya cepat.

"Melihat calon istriku," sahut Ammar seraya berjalan mendekati Rengganis.

"Hey, Tuan. Kau dilarang menemui pengantin wanita. Pernikahan kalian tinggal lima hari lagi, bersabarlah." Fitri menimpali dengan wajah geram.

Ammar mendesah putus asa. "Fitri, ayolah. Aku hanya ingin memberikan sesuatu kepadanya," pinta Ammar dengan nada memohon.

"Lima menit," ucap Fitri mengalah. Gadis itu melangkah meninggalkan keduanya.

"Ammar, ibumu akan marah kalau tahu kau menemuiku."

Ammar tersenyum, lalu mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. "Aku hanya ingin memberikan ini," ucapnya seraya menunjukkan kalung dengan liontin bunga matahari.

Rengganis menatap Ammar lekat, "Kau bisa memberikan itu di hari pernikahan, atau kau bisa saja mengirim Q ke sini."

"Sesuatu yang istimewa untuk gadis istimewa, harus diberikan oleh orang yang istimewa pula."

"Oh, Ammar ... aku benci saat kau mencoba bersikap romantis."

Keduanya tertawa. Ammar memang bukan pria romantis, ia hanya berusaha membuat wanita yang dicintainya merasa berharga. "Kau sangat berharga, Rengganis. Sangat ...," ucapnya lirih.

"Benarkah? Kalau begitu ...."

Rengganis menghentikan ucapannya karena ponsel Ammar berdering.

"Sebentar ini hanya pesan," ucap Ammar seraya membaca pesan di ponselnya. Kening pria itu berkerut, entah apa yang membuat senyum di wajahnya memudar.

Lihat selengkapnya