Rengganis mematung, lidahnya kelu dan semua sendi di tubuh terasa kaku. Hanya mata yang mampu berkedip menatap tubuh yang terbaring dengan pisau menancap di dada.
"Ammar ...," ucapnya lirih. Pria itu terbujur kaku di atas lantai, kemeja putihnya kini merah berlumuran darah. Perlahan ia melangkah mendekati pria yang hampir menjadi suaminya. "Ammar ...." Lagi, hanya itu yang bisa ia ucapkan.
"Rengganis ... hey, Rengganis."
Rengganis membuka mata cepat. Dilihatnya Fitri dan Nazwa berdiri menatap ke arahnya. "Kau mimpi buruk?" tanya Fitri dengan mata menyipit.
"Astagfirullah ...." Rengganis mengusap wajahnya lembut. "Maaf, aku tertidur," ucapnya lemah.
"Jadi, kau tidak mendengar saat Ammar mengucap janjinya?" Kedua mata Fitri membulat menatap Rengganis.
"Tidak." Rengganis menggeleng lemah.
"Kau juga tidak mendengar saksi berteriak 'sah'?" Nazwa menimpali seraya menahan tawa.
"Tidak," sahutnya lagi. Polos ia menatap dua sahabatnya itu bergantian, "Apa sudah selesai?" tanyanya heran.
"Keterlaluan," gumam Fitri diiringi tawa Nazwa yang lepas.
"Pengantin mana yang tidur saat akad nikah berlangsung?" Fitri terkekeh dan melangkah keluar.
"Jadi, sudah selesai?" tanya Rengganis lagi sebelum Nazwa melangkah meninggalkannya.
"Ya, Rengganis. Kau sudah menjadi istri Ammar," jawab Nazwa.
"Bagaimana bisa aku tertidur di saat seperti ini?" Kuat Rengganis memukul keningnya sendiri.
"Kau lucu," ujar Nazwa dengan kepala menggeleng tak percaya.
"Kapan kau tiba?" tanya Rengganis. Kedua alisnya menyatu melihat Nazwa dengan pakaian sama persis seperti di mimpinya tadi.
"Aku baru saja tiba. Ada apa?" Nazwa berjalan mendekati Rengganis.
"Mimpiku buruk sekali," ucap Rengganis lirih. Desir tak sedap menjalar secepat tiupan pawana. "Apakah menurutmu pernikahan ini akan baik-baik saja?"
Nazwa duduk di sisi Rengganis, diusapnya lembut punggung tangan wanita itu. "Berprasangka baiklah terhadap takdir Allah, bahkan kenyataan terpahit pun selalu memiliki alasan yang manis."
"Aku hanya takut."
"Kau sudah melakukan hal benar, Rengganis. Untuk masa depanmu, juga masa depan Arwa. Adakah yang lebih menakutkan dari patahnya masa depan putrimu sebab rasa takut itu?"
"Masih adakah kebaikan yang menungguku di depan sana, Nazwa?"
Nazwa mendesah pelan, ia tahu kekhawatiran yang dirasakan oleh Rengganis. "Akan selalu ada. Apa pun yang terjadi saat ini, akan selalu ada kebaikan yang menunggu. Untuk setiap sakit yang kaurasa, untuk semua pahit yang kautelan, akan selalu ada kebaikan. Maka, tetaplah berbaik sangka. Mungkin saat ini belum puas kau merasakan segalanya, tapi percayalah bahwa janji Allah selalu menjadi pasti."
Pada akhirnya, manusia akan tertawa saat mengingat diri pernah berkeluh kesah karena merasa tidak puas atas apa yang terjadi. Semua akan menyadari, bahwa kebahagiaan tidak akan datang dengan mudah. Begitu pula Surga, hadiah yang memiliki nilai paling mahal.
***
Ammar menatap Rengganis dari ambang pintu. Pesta sederhana yang dihadiri kerabat dekat dan para sahabat telah usai. Kini, bunga telah berada dalam genggaman, aroma cinta telah menguar begitu harumnya.
"Apa yang kaulihat?" Rengganis mengernyit melihat pria yang telah menjadi suaminya itu tersenyum diikuti kedipan nakal. "Ammar!"
"Kenapa? Aku ingin melihatmu, meyakinkan hati bahwa ini bukan mimpi." Ammar melangkah mendekati Rengganis. "Aku suka saat kau tersenyum, mengalahkan indahnya hamparan Lily, bahkan mentari kalah hangat oleh rona merah muda di kedua pipi itu."
Ucapan Ammar benar-benar berhasil membuat kedua pipi Rengganis berubah menjadi merah jambu. "Sepenting itukah senyumku untukmu?" tanyanya pelan.
"Penting, karena itu adalah milikku. Aku ingin terus memilikinya. Senyummu dan Arwa. Karena senyum kalian berdua adalah senyum kita."