Nashia Minara
“Nash!”
Suara itu memanggilku dengan jelas dan lembut, seperti semilir angin yang berbisik di permukaan air.
Aku membuka mata perlahan. Bentangan laut terbentang luas di hadapanku—gelap, seolah menyimpan rahasia yang enggan kubongkar. Kakiku tertanam di pasir hangat di bibir pantai. Ombak kecil bergulung perlahan, membawa desiran angin beraroma asin. Namun, tak ada tenang di sana. Yang kurasakan hanyalah ruang kosong yang menyesakkan.
“Nash!”
Suara itu datang lagi, lebih dekat.
Aku menoleh ke belakang, tapi yang kulihat hanyalah jejak kakiku di pasir.
Desiran ombak kembali terdengar, memaksaku menatap laut. Ombak besar mendekat; airnya hitam, riak-riaknya tampak seperti tangan—seolah ingin menarikku ke dasar yang kelam.
Ketakutan menyergap. Dadaku terasa sesak membuat napasku terengah-engah, telapak tanganku dingin berpeluh. Aku mencoba mengangkat kaki, tapi pasir berubah jadi beton yang membekukan setiap gerakanku.
“Nash…”
Kali ini suaranya terdengar lebih mendesak.
Aku tetap berdiri di situ, tubuhku kaku. Hanya bisa menunggu pasrah ketika ombak besar itu datang menelan. Ketakutan menjalari setiap inci tubuhku, mencengkeram erat.
Dan saat ombak itu akhirnya menerjang, kegelapan membungkusku sepenuhnya.
Sesak. Sunyi.
Aku terbangun dengan napas tersengal, keringat dingin membasahi tubuh. Suara ombak masih bergema di telinga, meninggalkan rasa takut yang menancap dalam dada.
Alarm ponselku berdering nyaring, menarikku kembali pada kenyataan. Dalam kegelapan kamar, napasku naik turun. Aku meraih ponsel di nakas dan mematikannya dengan satu sentuhan.
Jam menunjukkan pukul setengah lima pagi. Aku terdiam menatap langit-langit kamar, tidak segera bangkit. Memberi diriku waktu untuk mengumpulkan energi. Cahaya temaram dari lampu gantung berbentuk awan menari lembut di atas sana.
Satu tarikan napas panjang sebelum aku duduk di tepian kasur. Rambut panjangku yang berantakan kuikat asal dengan karet rambut yang selalu kugelangkan di tangan kanan.
Langkahku berat menjejak lantai dingin. Pagi terasa beku, ditambah sisa mimpi buruk yang masih menempel di kepala. Tenggorokanku kering. Keringat dingin menetes dari pelipis.
Ah… aku bahkan masih mengantuk. Tapi apa daya, hari harus dimulai.
Aku mengambil gelas bening di atas meja bundar di samping sofa dua dudukan. Butuh sesuatu yang menyegarkan.
Langkahku terhenti di depan kulkas putih mungil di sudut dapur kecil. Sedikit merunduk, kubuka pintunya. Lampu di dalamnya menyala lembut. Kuambil sebotol air mineral dan menuangkannya ke dalam gelas.
Tubuhku jatuh ke sofa. Terduduk malas, aku meneguk air itu perlahan. Kesegarannya mengalir di tenggorokan, lalu hening kembali menyelimuti ruang kecilku.
Mataku menyapu sekeliling apartemen studio yang sudah tiga tahun menjadi rumahku di Bandung—dua tahun sebelumnya aku hanya tinggal di kamar kos. Pertama kali menginjakkan kaki di ruang bernuansa putih ini, aku langsung jatuh cinta, meski biaya sewanya sempat membuat napasku sesak. Tapi aku merasa pantas, karena aku sudah bekerja keras.
Aku suka jendela besar yang menghadap ke kota. Setiap pagi, cahaya matahari masuk tanpa permisi, memenuhi seluruh ruangan. Dan saat malam tiba, bulan purnama terlihat begitu dekat dari lantai lima belas.
Lemari tiga pintu menempel di dinding. Sofa dua dudukan dengan meja kayu kecil di sampingnya. Dapur mini dengan kabinet, kulkas, dan mesin cuci tabung. Kamar mandi lengkap dengan air panas dan dingin.
Aku hanya membawa meja rias kecil—cermin sudah tersedia di sana.
Mataku kemudian tertuju pada peta Indonesia yang kutempel di dinding depan sofa. Ada foto-foto tergantung di tali yang menjuntai—foto-fotoku bersama orang-orang yang kusayang.
Aku menarik napas panjang. Setiap kali mimpi buruk datang, dadaku terasa sesak, jiwaku terasa hampa. Butuh waktu lama bagiku untuk benar-benar bergerak memulai hari.
Ah… perutku mulas.
Aku meletakkan gelas di meja, lalu berjalan cepat menuju kamar mandi di depan dapur mini, dekat pintu masuk.
Rutinitas pagi yang selalu sama. Kadang aku merasa seperti robot yang diprogram untuk melakukan hal yang sama setiap hari.
Apakah wajar merasa bosan pada kehidupan yang berjalan terlalu baik?
*
Lagu That’s the Way It Is milik Tante Celine Dion terdengar di earphone, menemani langkahku menyusuri bahu Jalan Braga.
Aku selalu memulai pagi dengan lagu-lagu penuh semangat dan harapan, seolah menyalakan kembali energi untuk bekerja.
Kantor tak jauh, hanya lima belas menit berjalan kaki.
Cuaca pagi ini menyenangkan. Langit biru membentang dengan gumpalan awan yang lembut seperti busa. Aku menyukai langit biru—entah sudah berapa banyak foto langit tersimpan di galeriku.
Memandang langit membuatku tenang.
Langit seolah berbisik, Nashia, tenang. Apa pun yang terjadi, semua akan baik-baik saja.
“Cantik sekali,” gumamku, tersenyum kecil sambil memotret langit dengan ponsel.
Aku melangkah lagi. Jalan utama mulai ramai oleh kendaraan yang saling memburu waktu. Gedung tinggi menjulang di hadapan, megah dan dingin.
National Bank Regional Jawa Barat terukir kokoh di papan beton di depan gedung. Rumah keduaku di kota ini.