Nashia Minara
“Hello, morning semuaannyaa…” sapa Jo riang saat kedua kaki jenjangnya melangkah masuk ke ruangan Marcom diikuti olehku yang berjalan di sampingnya.
Terlihat sudah ada beberapa rekan kerja yang datang sudah menepati meja kerja masing-masing. Pagi hari yang selalu sibuk, ada yang sudah memulai bekerja karena dikejar dateline laporan, ada yang tengah berdandan di meja kerjanya yang mungkin tidak sempat, dan ada juga yang menikmati sarapan mereka.
Divisi Marketin Communication selalu terlihat hidup, riang dengan suara oborolan dan tawa, dering telepon yang masuk. Dan langkah-langkah para pegawainnya.
Dan yang paling kusukai dari ruang kerja kami adalah cahaya matahari pagi menembus jendela-jendela besar, menerangi ruang kantor, membuat kami bisa melihat langit biru yang membentang di luar sana. Tidak terasa panas, karena AC central menyala dengan baik, mendinginkan dan menyejukan ruangan.
Di tengah ruangan berdiri ruang kaca Pak Gading, Kepala Divisi Marcom, yang seperti akuarium tempat ikan hiu sedang mengawasi mangsanya.
Jo dan aku menaruh tas di meja masing-masing.
“Tumben barengan?! Biasa kesiangan elo, Jo,” sapa Adrian begitu saat muncul dari arah pantry sambil memegang tumbrl kopi miliknya.
Kalian pernah liat laki-laki manly maskulin dengan tubuh tinggi tegap yang anak gym banget, Adrian adalah salah satunya. Wangi parfumenya kecium hingga radius 2 meter. Tubuhnya tinggi dengan otot-otot yang menonjol di balik kemejanya. Gaya rambut yang tertata rapi dengan pomed. Pokoknya, type laki-laki metropolis banget.
“Lagi rajin aja gue,” sahut Jo mengibaskan rambutnya, tersenyum singgung menatap Adrian.
Adrian mengabaikan Jo, merapikan tali ID Card yang sudah rapi yang terkalung di kerah kemejanya.
“Nashia, siang ini elo sendiri ya vendor,” ucapnya ringan lalu duduk di kursi kerjanya.
“Hah? Kok gue pergi sendiri? Bukannya sama elo, ya?!” protesku spontan.
“Gue ditarik untuk ikut rapat fraud sama divisi audit,” jelasnya dengan tenang lalu menenguk kopi dalam tumblrnya.
“Gue aja deh yang rapat?!” tawarku cepat, “lo ketemu vendor aja.”
Adrian hanya menggelengkan kepala sambil menyeruput kopi dari botol minumnya. “Gue udah kirim brief[1] ke mereka semalam. Gue Juga udah kirim brief ke email, tinggal elo cetak aja.”
Aku menarik napas, setengah jengkel, setengah pasrah.
“Terus nanti pas ketemu si Fajar, elo tegas. Dia suka ngada-ngada soal desain.”
“Oke,” sahutku pendek. Mau tidak mau.
Jo menoleh sambil tersenyum. “Anggap aja angin seger.”
“Iyee…” pasrahku tertunduk.
Aku menatap mesin printer mengeluarkan yang satu per satu lembar brief yang sudah dibuat oleh Adrian, menatapnya dengan berdiri lemas.
Ah bagaimana nasibku meeting sendirian sama Vendor? Bagaimana aku bisa menghadapinya sendiri? Apa aku bisa? Selama ini, Adrian yang maju. Apa yang harus aku lakukan?
Ah crap!
“Kenapa lo, Nash, mukannya nekuk gitu?!” tanya Indra, rekan kerja-ku di Divisi Marcom menghentikan sejenak langkahnya dengan membawa berkas.
“Ah … engga apa-apa. Biasalah … ngantuk, “ jawabku ngasal, “elo mau ke mana?”
“Ke ruangan Pak Gading,” jawabnya berbisik, “mau ngasih brief acara marathon tahun ini.”
Aku teringat, acara tahunan kami. “Sebentar lagi, ya?! Eh … enam bulanan lagi, kan?”
Indra menganggukan kepala, membenarkan bingkai kacamatanya yang melorot ke batang hidung peseknya.
“Itu juga kan suka molor waktunya,” keluhnya, “elo tahu sendiri Pak Gading suka rusuh, padahal dari pusat sendiri belum kasih aba-aba juga.”
Aku menganggukan kepala sambil menatap kertas-kertas yang keluar dari mesin printer yang menyatu dengan mesin foto copy-nya. Apakah mesin besar ini bisa berubah menjadi robot? Seperti film transformer.
“Gue tuh bingung. Kenapa sih acara segede ini harus diadaian di Bandung? Kenapa engga di Jakarta aja?! Jadi yang repot, kan, kanwil kita. Pusat tahu jadi aja …” omelan Indra terus berlangsung, aku mendengarkan dengan baik dan sabar, hanya menganggukan kepala. Bahkan sampai dokumen-ku keluar semua, Indra masih terus mengeluh.
Pikiranku begitu penuh membayangkan bagaimana aku menghadapi vendor seorang diri.
Aku langsung memegang pundaknnya dengan tekanan, berhasil menghentinkan ocehannya.
“Sabar, ya?!” singkatku tersenyum padanya, “print-an gue udah selesai.”
“O okay …”
Aku melepaskan tanganku dari pundaknya dan mengambil kertas-kertas dokumentku, lalu melangkah lemas dengan kepala menekuk, Indra melanjutkan langkahnya menuju ruang Pak Gading.
Apapun itu, harus kuhadapi.
Jadi, aku memilih untuk mempelajari apa yang akan kuhadapi.
Kubuka dokumen draft brief-nya yang tadi Adrian berikan padaku, aku lebih suka membaca secara manual, dengan kertas dan pulpen. Dalam waktu aku mempelajari dokument brief ini dari balik lensa kacamataku, sesekali aku meneguk kopi panas di tumblr milikku.
Tujuan Proyek: Launching produk e-saving Bank National (target Gen Z & milenial, usia 22–45 tahun).
Visual Backdrop: Ukuran: 6m x 3m (horizontal). Warna utama: biru tua (#002B5C). Elemen desain: smartphone, ikon digital banking, ilustrasi gaya hidup aktif. Tagline: “Satu Langkah Digital untuk Masa Depan Finansial”.
Gimmick Promosi, Jenis: Tumbler, totebag, pop socket dengan Jumlah: 1000 pcs. Warna: sky blue, mint, dan soft pink. Desain minimalis. Tambahan opsional: QR code produk (jika memungkinkan).
Pilihan warna, semua di pilih sama Jo. Jo yang paling hatam tentang trend Gen Z. Selain seorang karyawan bank, Jo juga aktif di sosial media, belum di katakan influncer karena baru memiliki followers 3.000. Dibandingkan denganku yang hanya 500 followers, itu pun mentok dari kapan tahun.
Karena rata-rata followers Jo adalah Gen Z yang menyukai cara berpakaian Jo yang fashionable, dan kecantikan Jo bak artis korea.
Jadi, Jo mengadakan polling di IG pribadinya, menanyakan warna apa saja yang kalian suka. Dan hasilnya 3 warna ini, sky blue, soft pink, dan mint. Warna-warna pastel yang hangat namun cerah.