Damar Hamish
Kedua langkahku pasti memasuki ruang Divisi Audit Internal yang disambut similar udara dingin dari pendingin ruangan. Karpet berwarna navy membentang luas di lantai menjadi meredam bunyi Sepatu, seolah menegaskan kesan tenang yang menyelimuti ruangan ini.
Divisi Audit Internal, selalu tampak tenang. Karena kami yang bekerja di sini membutuhkan konsentrasi tinggi dan tetap fokus dengan pekerjaan kami. Menjauhi dan menghindari kebisingan.
Aku menyapa beberapa rekan kerja yang tengah sibuk di balik meja kerja mereka, sempat berbincang ringan sebelum kembali melanjutkan Langkah.
Di ruangan ini, ada lima tim auditor, masing-masing terdiri dari 3 orang, yang duduk di modul meja bersekat rendah yang terpasang rapi di seluruh ruangan. Ada jarak yang lega, posisi antara tim satu dengan tim lainnya, diatur dengan tertata dan rapi, memberi ruang untuk bekerja tanpa saling mengganggu.
Wajahku menengok pada ruang berdinding kaca transparan, Pak Dirga, Pimpinan Divisi kami sudah ada di ruang kerjanya tengah membaca laporan di tangannya. Aku tersenyum kecil. Ruang kerja pimpinan seperti pusat koordinasi yang selalu terlihat dari segala arah. Di sinilah semua rencana audit dirancang, mengatur penugasan ke cabang-cabang bank nasional di seluruh Jawa Barat.
Setiap tim memiliki tanggung jawab regionalnya masing-masing, dan kami bekerja dengan pola audit berkala setiap tiga bulan sekali, tanpa jadwal yang pasti, agar setiap cabang selalu siap menghadapi pemeriksaan mendadak.
“Pagi, Zemi!” sapaku hangat saat melewati seorang perempuan yang tengah duduk di kursi kerjanya yang tengah mengetik sesuatu di laptop-nya. Wajah cantik berparas blesteran Padang-Belanda terlihat begitu serius, bahkan keningnya mengkerut.
Pingin gue setrika tuh kening.
“Ah Mas Damar datang juga!” leganya, saat aku baru saja melepaskan tas ransel dari punggung.
“Kenapa? Kenapa? Mau di beliin sarapan apa?” sahutku sesaat meliriknya, sambil mengeluarkan laptop lalu beberapa berkas kerjaan yang dibawa pulang dari dalam tas ransel hitam besar ini.
Zemi berdiri dari duduknya, terlihat tubuh tinggi jenjang berisinya. Bahkan tingginya hampir sama denganku, padahal Zemi memakai sepatu tanpa hak.
“Bukan itu, Mas,” kalutnya menatapku, berjalan menghampiriku. “Ada masalah.”
“Masalah apa?” tanyaku bersikap santai dengan tawa kecil, karena wajah kalutnya terkesan lucu.
“Mas Satria tadi pagi wasap saya, kalau dia hari ini izin sakit. Asam lambungnya kambuh!” ucapnya risau, “apa Mas Satria udah wasap Mas Damar?”
Aku melihat ke meja Satria yang berhadapan dengan meja kerja Zemi. Kosong. Rapi.
Langsung kuambil ponsel di dalam tas ransel, ada pesan masuk. Aku selalu mematikan notif setiap sepulang kerja, dan menyalakan notif keesokan paginya. Dengan alasan tidak mau diganggu diluar jam kerja.
Pesan dari Satria, memberitahu bahwa asam lambungnya kambuh, dan meminta izin untuk tidak masuk kerja.
“Duh! Satriaaa… bisa-bisanyaaa!!” gerutuku, “semua berkas laporan audit kemarin ada di Satria, kan?!”
Zemi menganggukan kepala. “Saya cuman menyimpan kasarnya, Mas. Semalam, setelah kami selesaikan semuanya. Dibawa Mas Satria di laptopnya. Rencanaya pagi ini kami akan print. Tapi…” Zemi menghentikan penjelasannya dengan wajah tertunduk, kedua bibirnya mengatup, tangannya menyatu.
Giliran aku yang panik, menyikukkan kedua tanganku di setiap sisi pinggang. Mengatur ritme napas, melonggarkan dasi yang melilit di kerah kemejaku. Berpikir sesaat untuk menemukan solusi. Zemi terus menatapku, menunggu intruksi dariku.
“Tapi, Mas…” Zemi Kembali bersuara dengan ragu.
Aku langsung menengok kepadanya dengan memecet keningku yang tiba-tiba terasa pening.
“Kata Mas Satria, dia mau kirim semua bukti pake kurir, Mas!” lanjutnya hati-hati, Zemi tahu, aku tidak akan menyetujui ide bodoh Satria ini.
“Kirim pake kurir?! Dia mau ngirim laporan sepenting itu pake kurir?!!” aku mengecam idenya ini.
Zemi menganggukkan kepalanya pelan dengan wajah yang sama kalut dan bingungnya denganku.
“Argh!” geramku menahan kekesalan, “kita punya berapa jam lagi sebelum rapat?”
Zemi melihat arloji di tangan kirinya. “Sekarang jam setengah delapan. Kita punya satu setengah jam lagi, sebelum rapat di mulai.”
“Okay!” aku menimang-nimang solusi yang kutemukan, memperhitungkan waktu dan risiko, dari setiap solusi yang terlintas. “Persiapan untuk meeting, udah kamu siap, kan, semuanya?!?”
“Udah, Mas. Ruang rapat sendiri sudah siap, sudah diatur tadi pagi sama saya dan OB. Konsumsi juga lagi dalam perjalanan,” jelas Zemi terperinci, “tinggal analisis audit yang ada di Mas Satria.”
“Ok,” pikiranku mulai tenang. “Saya ke rumah satria. Kamu cek-cek lagi di ruang rapat. Hubungin direksi sama sekretaris komite audit. Okay?!”
“Ok, Mas.”
Aku menepuk pundak Zemi, lalu melangkah cepat keluar dari ruangan kantor ini sambil menghubungi Satria. Satria Gembul, namanya dalam kontak.
Tersambung.
“Hallo, Mas?!” sapanya, dengan suara lemas dari sebrang sana.
“Eh Boboho! Elo engga masuk lagi?!” tanyaku dengan suara berat, menahan rasa kesal.
“Iya, asam lambung saya kambuh lagi, Mas!” keluhnya dengan suara terdengar meringis kesakitan.
“Kemarin, elo masih sehat bugar sampai makan mie ayam dua mangkok. Kenapa tiba-tiba jadi tepar gini? Elo tahu kan hari ini, hari apa?!”
“Hari kamis kan, Mas?!” jawabnya santai.
“Bukaaann ituuuuu!!” teriakku, tepat di speaker ponsel.
“Mas, biasa aja kali suaranya. Kuping saya masih sehat walfiat,” keluhnya, “terus apa dong, Mas?”
“Rapat. Audit. Internal. Satria, sayang, darling!”
“Oiya, maaf. Itu maksud saya, Mas.”
Sabar, Damar, Sabar.
Langkah terhenti di depan lift. Aku memencet-mencet tombol panah ke bawah, padahal sekali pencet juga sudah cukup.
“Ya ya saya salah. Maaf ya, Mas?!” sesalnya, “terus gimana, Mas? Kalau saya ikut rapat, terus saya pingsan ditengah rapat. Siapa yang mau angkut saya? Mas Damar? Zemi? Engga mungkin, kan?!!”
Emang paling pintar cari pembelaan nih si Boboho satu.
“Sekarang juga, kirim alamat rumah elo. Saya amu ke sana pake gojek!!”
“Yaa kok pake gojek?! Kan kalau gitu saya kirim aja laporannya pake gojek.”
Astagaa… leherkuu!! Aku memegang pangkal leherku yang terasa tegang.
“Sekarang juga, kirim Alamat elo. Jangan banyak koment!! Atau saya kempesin perut elo…” pintu lift akhirnya terbuka dan langsung masuk ke dalamnya, memencet tombol 1 kembali menuju banking hall.
“Dengan senang hati Mas …”
Napasku mulai tak beraturan, amarah menumpuk di dadakku hingga membuat napasku naik turun.
“Satriaa!!” tekankku memanggil Namanya.
“Iya ya, Mas, sekarang juga saya kirim…”
Aku langsung mematikan telepon.
Pagi-pagi udah sepaneng aja.
*
Kepulan asap rokok halus keluar dari mulutku, seperti menghembuskan segala beban yang menumpuk di dada. Setiap hembusan terasa membawa setumpuk kelelahan dalam diri, entah fisik maupun pikiran.
Mata letihku menatap kosong pada langit malam yang gelap, tanpa bintang. Angin malam berembus lembut, dingin, dan seolah menyatu dengan kekosongan dalam diri ini.
Lelah. Aku bisa merasakannya meresap ke setiap sendi tubuh, menjalari setiap ruas tulang. Setelah rapat audit yang seharian penuh, ruang rapat yang menekan, berisi kata-kata yang menjemukan. Tumpukan angka-angka yang mengikat pikiranku, aku memilih untuk sejenak mundur.
Di beranda kantor dengan sebatang rokok di tangan, aku menghembuskan napas panjang. Berharap bisa mengusir lelah ini, meskipun aku tahu kebiasaan buruk ini hanya membantu sesaat.
Sungguh aku tak bisa mengingkari rasa syukurku. Pekerjaan ini memberi aku segalanya yang kubutuhkan, segala fasilitas yang seharusnya membuatku merasa aman.
Pekerjaan yang benar-benar menyita waktu, pikiran dan energiku. Aku seperti tidak punya ruang untuk diriku sendiri. Ketenangan hidup yang datang dengan kemapanan, bayaran yang sepadan.
Ah … tapi aku sungguh menyukai pekerjaan ini. Hanya saja … aku tengah Lelah.
“Mas Damar?!” suara yang memanggilku lembut namun jelas ini, memanggilku dari pikiran rumitku.
Kutengok, Zemi berdiri di ambang pintu dengan senyum kecil dalam raut wajah lelahnya. Rambut Panjangnya yang tadi tergurai rapi, kini terikat seperti buntut kuda. Namun ia masih memakai blazer hitamnya, sedangkan aku sudah melepas blazer yang menyesakkan itu, hanya menyisakan dasi hitam yang terlilit longgar di kerah kemejaku.
“Iya, Zem?” aku mematikan rokok di asbak yang tersimpan di meja beranda.
“Saya mau kasih hasil laporan rapat hari ini,” ucapnya dengan senyum kecil di balik raut wajahnya yang tampak Lelah.
“Ah iya, saya masuk sekarang.”
“Iya, Mas.”
Zemi Kembali masuk ke ruang kantor, disusul denganku.
Sesaat setelah aku duduk, memakai kacamata bacaku, lalu menggulungkan kembali lengan kemeja hingga siku.
“Kamu boleh duduk, Zem!” senyumku tipis sesaat menatapnya dari balik lensa kacamataku.
“Iya, Mas,” Zemi pun duduk di hadapanku.
“Sebentar, ya?! Saya periksa dulu!” pintaku, lalu mengambil pulpen di atas meja kerja.
Kubuka, kubaca dengan teliti dan seksama beberapa lebar laporan ini, tentang hukum yang diambil dan tindak lanjutnya oleh Divisi Kepatuhan dan Hukum. Laporan tertulis tentang tindakan mitigasi komunikasi[1] hasil rekomendasi dari Adrian-perwakilan dari Tim PR, dan juga laporan hasil meeting hari ini yang dibuat Zemi.
“Mas Damar?!” Zemi memanggilku dengan ragu.
“Em?” sahutku tanpa menengoknya.
“Mmm … saya cukup kaget dengan keputusan yang selalu diambil oleh divisi hukum dan kepatuhan… Bukan hanya kasus Pak Setyo saja, tapi … sebelum- sebelumnya,” nada suaranya hati-hati. “Ya walaupun, saya baru satu tahun di audit, dan baru 2 kasus yang ditangani.”
“Kenapa kamu kaget?” tanyaku, masih menelusuri laporan Zemi, mencoret, melingkari, dan mencatat bagian yang harus Zemi edit.
“Karena buktinya jelas. Kenapa tidak diproses hukum? Kenapa cuma dipensiunkan? Tanpa dipidanakan?! Dibiarkan begitu saja setelah melakukan banyak kerugian,” herannya menatapku, meminta penjelasan lebih.
Mendengar pernyataannya yang terdengar seperti keluhan, membuatku diam sesaat menatap kertas laporan ini. Tercengang dengan ucapannya, tidak menyangka bahwa Zemi bisa seberani ini mengungkapkan apa yang ia pikirkan. Aku mengulum senyumku, satu sisi aku senang dengan kejujurannya.
Aku menutup map ini, mengangkat wajahku untuk menatapnya. Sorot matanya bukan cuma bingung, tapi juga kecewa. Aku menyimpan kedua tangan ini di atas meja, melepaskan kacamataku, menatapnya langsung.
“Zem, kita ini kerja di dunia jasa keuangan. Yang dijual, bukan sekadar produk. Tapi kepercayaan.”
Zemi mengangguk ragu. “Ya, terus hubungannya?”
“Kalau publik sampai tahu ada pimpinan cabang menggelapkan dana, kira-kira apa yang terjadi?”
“Orang-orang akan tarik simpanan mereka. Nama kita tercoreng,” jawabnya cepat.
“Benar,” aku menghela napas. “Karena itu bukan cuma hukum yang dijaga, tapi reputasi. Setiap Divisi yang hadir di rapat hari ini, dan sebelum-sebelumnya, punya tugas masing-masing tanpa mengabaikan hukum itu sendiri, hanya saja dengan cara Perusahaan,” aku mencoba menjelaskan.
“PR punya tugas menjaga citra, dan kita, audit memastikan setiap cabang menjalankan pelayanan dengan standar oprasional yang sudah diberikan, menjaga kepercayaan nasabah kepada kita. Dan kalau sampai ada penyalahgunakan kepercayaan, tugas kita melaporkan dengan segala bukti yang ada. Sedangkan hukum dan kepatuhan memberika sanksi untuk pelaku…dengan cara Perusahaan. Gimana caranya reputasi bank national terjaga dengan baik. Bagaimana hukum tetap berjalan, namun jangan sampai mencoreng nama perusahaan.”
Zemi diam. Perlahan, ia duduk lebih dalam ke kursinya.
Zemi menganggukan kepala. “Dan alasan untuk tidak sampai ke media adalah untuk tetap menjaga reputasi?”
Aku menganggukan kepala. “PR memberi opsi komunikasi yang paling minim risiko reputasi. Diam adalah strategi. Seperi yang mereka sebutkan di narasi laporan ini,” aku menunjukkan laporan.
“Kalau kita sampai lapor ke pihak berwenangan, otomatis media pasti akan tahu. Dan itu akan tersebar luas, kepercayaan Masyarakat akan menurun drastis, susah dipulihkan.”
Zemi mencerna setiap penjelasanku, tapi sepertinya itu belum cukup baginya. Aku baru sadar, bahwa perempuan yang terlihat naif dan ringan ini, ternyata kritis juga.
“Tapi kan itu ... menutup kebenaran?” tanyannya lagi menatapku dengan kecewa.
Aku tersenyum tipis, akhirnya aku memahami kenapa Zemi masuk ke Divisi Audit. Kalau dilihat secara penampilan, Zemi lebih cocok menjadi seorang PR, masuk Divisi Marcom atau Oprasional. Namun, dalam segi pemikiran, Zemi begitu kritis dan detail, karakter yang cocok untuk seorang auditor.
“Zem, sistem perbankan ini berdiri di atas keseimbangan. Hukum itu penting. Tapi reputasi... bisa menghancurkan segalanya dalam semalam,” jelasku.
“Kalau sampai ke ranah hukum, pekerjaan setiap divisi yang terkait akan lebih Panjang, dan itu sangat melelahkan. Bukan kita saja sebagai auditor yang harus mengurus ini itu, hukum dan kepatuhan, belum kalau ada banding. Lalu Marcom, memutar kembali ide mereka bagaimana mengembalikan kepercayaan Masyarakat. Dan semua itu, membuang lebih banyak energi, waktu, dan juga secara pengeluaran,” lanjutku, aku harap kali ini Zemi memahami, dan mengendalikan sikap idealisnya.
Zemi menganggukan kepala. “Saya ngerti. Sorry, Mas, banyak nanya. Karena saya selalu butuh penjelasaan sampai itu masuk akal bagi saya.”
Aku menganggukan kepala, mengerti.
Di awal karirku sebagai auditor seperti dirinya. “Saya paham. Nanti kamu akan memahami sendiri cara kerja hukum dalam setiap Perusahaan. Dan bagaimana seorang auditor menjalankan tugasnya.”
Zemi menganggukan kepala. “Saya hanya tidak habis pikir, Mas. Dengan jabatan, umur, penghasilan segitu ... kenapa masih berbuat curang? Apa tidak cukup? Gaji seorang pimpinan cabang itu dua digit, belum tunjungan, fasilitas, asuransi dan masih banyak lainnya.”
Aku menatapnya lekat-lekat. “Ketika gaya hidup tinggi, pikiran pun menjadi dangkal.”
“Iya juga…” gumamnya pelan.
“Ah iya, Zem. Tidak semua hukuman harus berbentuk penjara, kantor polisi, pergi ke persidangan. Kadang ... kehilangan nama baik, tanpa pesangon, asset disita, tidak mendapatkan dana pensiun setelah belasan, puluhan tahun bekerja, itu jauh lebih menyakitkan daripada penjara itu sendiri.”
Zemi menganggukan kepalanya pelan dengan senyum tipis tanpa makna, memahami segala fakta yang baru saja ia dengar.
“Makasi ya, Mas?”