Nashia Minara
Aku tersenyum menemukan langit cerah di hari Sabtu pagi ini. Begitu indah, terang dan hangat.
Aku, Jo, Adrian, dan seluruh tim MarCom berdiri di halaman parkir Bank National yang sudah disulap jadi venue semi-outdoor. Sebuah panggung berukuran sedang berdiri elegan, sudah lengkap dengan peralatan full bandnya, dilapisi kain putih dan navy yang serasi dengan logo perusahaan.
Di sisi kiri panggung, backdrop membentang dengan tagline besar:
‘Satu Langkah Digital untuk Masa Depan Finansial’
Aku tersenyum senang dan lega, dengan hasil yang selama beberapa bulan ini kami kerjakan susah payah, lembur, bahkan ada hari di mana kami tidak pulang, menginap di kantor. Selalu seperti itu, setiap kali kami mengadakan event.
Kami sebagai panita, semua mengenakan kaos biru langit bertuliskan e-Saving Crew.
Mataku menatap lipstick merah di bibir Jo yang penuh, Jo tersenyum penuh percaya diri menatapku.
“Gimana?” tanyanya meminta pendapatku.
Warna apapun yang Jo pakai untuk menghiasi wajahnya selalu membuatnya semakin cantik dan menarik.
“Cocok. Warna merah di bibir elo, membuat elo semakin… sexy!” senyumku merapikan helain rambut Panjang indahnya.
“Elo bisa aja, Nash!” senyumnya senang.
Aku menganggukan kepala.
Kami melanjutkan pengecekan gimmick yang sudah tersimpan rapi di meja, aku menghitungnya, dan Jo menyamakan dengan data di laporan yang ia bawa. Beberapa rekan kami sibuk dengan tugas masing-masing.
Ada yang mengecek sound system yang memang memahami alat musik, ada yang hilir mudik membawa konsumsi, dan mengecek posisi banner yang berada di sisi-sisi pakiran ini. Ramai, riuh dan bersemangat.
“Gimana Jo perasaan lo sekarang? Sudah membaik?” tanyaku memastikan, setelah kami selesai mengecek gimmick.
Beberapa hari yang lalu Jo cerita tentang kekalutannya dalam menyiapkan pernikahannya yang tinggal hitungan minggu. Perbedaan pendapat dengan Mikel, calon suaminya, dan para orangttua yang menginginkan pernikahan semeriah mungkin. Sedangkan Jo dan Mikel menginginkan pernikahan yang intimate, tamu yang hadir hanya keluarga dan teman terdekat.
“Sebenernya mah, masih pusing, Nash. Gue teh seneng akhirnya pernikahan di depan mata gue, hal yang selama ini gue tunggu dan harapkan,” ucap Jo dengan senyum yang tertahan, “tapi ya … ternyata banyak bak bik buk nya. Belum lagi drama sama Orangtua gue maunya pernikahan ini meriah karena gue anak pertama. Kalau orangtua Mikel lebih ke gimana anaknya, mereka akhirnya mengalah.”
“Oo jadinya orangtuanya Mikel ngikut kalian?!” tanyaku memastikan.
Jo menganggukan. “Ya, orangtua Mikel lebih santai. Beda sama orangtua gue …”
Aku menganggukan.
“Jadi ya … pusing gue. Berantem tadi malam mamih, udah mah capek pulang kerja, badan ringsek. Eh nyampe rumah di ini itu, jadi lah berantem.”
Aku mencoba memahami kekalutan Jo, mengelus lengannya lembut. “Anggap aja ini bagian krikir atau rintangan yang mesti elo lewatin. Kata orang gitu kan, ya. Kalau mau nikah tuh rintangannya aja. Dan gue yakin sih, elo bisa melewatinya dengan baik.”
Jo menghela napas pendek, ia melemparkan senyum padakku lalu membuka tangannya lebar-lebar, langsung memelukku.
Seketika tubuhku terkejut, kaku.
“Thank you, Nash…” ucap Jo menggoyang-goyangkan tubuhku.
Aku yang selalu bingung bagaimana bereaksi saat seseorang memelukku, hanya membalas dengan menepuk-nepuk punggung Jo dengan tawa kikuk.
“Malah peluk-pelukan!” Adrian muncul begitu saja berjalan mendekat pada kami dengan geleng-geleng kepala.
Jo langsung melepaskan pelukannya, diam-diam aku menghela napas lega.
“Kenape? Mau gue peluk juga?!” ketus Jo.
“No, thanks. Bukan muhrim!”
“Baik, Pak Ustadz.”
Adria hanya geleng-geleng kepala.
“Nash, gimana gimmick semuanya udah elo hitung? Konsumsi? Wartawan?” tanyanya beruntun memastikan padaku, berdiri tegap menghadapku.
“Gimmick baru selesai kita cek, aman. Konsumsi udah di dalam, tadi anak konsumsi udah kasih gue laporan. Anak media juga tadi udah kasih laporan, wartawan, sudah diarahkan ke tempatnya,” jelasku sesekali melirik pada Jo yang berdiri di sampingku sambil mengangguk-anggukan kepala.
“Good,” Adrian tersenyum.
“Yang penanggung jawab siapa yang pada laporan ke siapa. Aneh,” gumama Jo menyindir, aku langsung menyenggol lengan Jo, Adrian melirik Jo dengan sinis.
Jo dengan sikap Santai tidak peduli bahwa dia yang membuat suasana menjadi canggung.
Adrian berdehem.
“Ah Jo, Mahalini gimana? Datang tepat waktu, kan?!”
“Mahalini, Uda kok, gue uda hubungin manajernya. Mereka keluar dari hotel jam sepuluh.”
“Kok, jam sepuluh sih? Dia kan perfomrnya jam sebelas? Memang engga check sound dulu?!”
“Udah check soundnya ya Bapak Adrian, tadi malam jam 8.”
“Kok, gue engga tahu?” Adrian tampak kesal.
“Lha, kan gue udah bilang sama elo. Makanya, gue sama tim stand by di sini sampai jam sepuluh malam, nemenin Neng Mahalini check sound. Lagian hotelnya juga deket kok.”
“Hah kapan elo bilang?” bingungnya.
“Jo bilang kok Adrian, ada gue di situ. Elo cuman bilang ok. Mau balik, karena istri elo nelepoin elo terus,” ucapku menjadi saksi.
“Ooo … sorry, gue lupa, mungkin,” acuhnya.
Aku dan Jo hanya melirik pasrah … kebiasan Adrian.
“Gue kan sebagai penanggung jawab event kali ini. Banyak tugas yang harus gue urus, banyak yang laporan ini itu, jadi ya wajar kalau lupa,” jelasnya membela diri.
Aku menepuk pundak Adrian. “Is okay, Adrian, kita paham.”
“Thank you,” senyumnya kecil pada Jo lalu padaku.
“Sama-sama,” sahut Jo acuh.
“Ya uda, gue mau cek yang lainnya,” ucap Adrian. “Oiya Jo, elo cek host ya?! Pastikan ke dia, satu jam lagi acara di mulai.”
“Kok gue, sih?”
“Elo kan bagian acara. Gimana sih?”
“Lha kan gue udah jadi LO nya Mahalini. MC udah ada LO sendiri.”
“Ya udah, elo tinggal terusin perintah gue ini ke LO-nya MC. Mudah, kan?!”
“Dih…!” gumam Jo.
Adrian mengabaikan Jo. “Kalian kalau mau sarapan atau istirahat, silakan. Kita masih punya waktu 1 jam.”
“Ok,” sahutku, Jo membuang wajahnya.
Adrian pun pergi meninggalkan kami.
“Aduh, riweuh pisan jadi laki-laki teh. Udah kayak emak-emak aje,” keluh kesal Jo dengan bibir manyunnya, “engga becus banget. Bawaanya lepar kerjaan seenak jidad lebarnya.”
Aku tertawa kecil. “Udah biasa dia begitu?! Anak emasnya Pak Gading. Harap maklum!”
“Adeuh…jangan sampai dia naik jabatan! Bisa besar kepala!”
“Gue setuju sih itu.”
Terdengar suara ponsel berdering, aku langsung mengambil ponselku di saku celana, Damar.
“Ya, Mar?!” sapaku saat mengangkat telepon darinya.
“Di mana, Nash? Udah di venue?” tanyanya dengan suara ngos-ngosan.
“Udah, Mar. Kenapa?” heranku, melihat jam di pergelangan tangan kiriku, jam 8 pagi.
“Gue di depan nih. Gila. Lapangan pakir bisa juga disulap jadi venue acara gini,” serunya.
“Elo ngapain jam segini udah ke sini? Acara baru di mulai 2 jam lagi.”
“Hm. Gue habis lari pagi. Jadi sekalian mampir …”
“Ooo…ok.”
“Jadi elo di mana?”
Aku melihat sekitarku.
“Dekat panggung. Gue lagi sama Jo.”
“Ok. Tunggu di sana.”
Telepon tertutup.
“Si Damar mau ke sini?” tanya Jo.
“Iya,” aku kembali memasukan ponsel ke dalam saku celana.
“Wah tumben banget tuh anak. Biasanya dia malas ke acara kantor, apalagi rame kayak gini,” sindir Jo.
“Mampir aja katanya, habis lari,” sahutku Santai.
“Ah, gue belum cerita sama elo,” Jo teringat akan sesuatu.
“Cerita apaan?”
“Lakik gue kemarin mau ngenalin Damar sama temannya, eh si Damar nolak. Malas katanya. Ribet.”
“Oo…udah engga aneh sih, Jo.”
Jo menghela napas pendek.
“Apa dia belum move on ya dari Intan? Padahal udah 2 tahun yang lalu mereka putus.”
“Mungkin…” aku berusaha untuk acuh.
“Atau jangan-jangan si Damar udah punya gebetan,” tebak Jo.
Deg!
Kenapa aku engga kepikiran sampai sana?