Nashia Minara
1 Bulan Kemudian
Para tamu berdiri menyambut kami yang memasuki pelataran. Langkah kaki kami menyentuh pelataran putih yang telah ditaburi kelopak bunga. Deretan kursi kayu berbalut kain putih gading mengapit jalur utama yang membelah taman semi-outdoor ini, dihiasi rangkaian bunga putih, eucalyptus, dan baby’s breath.
Jo dan Mikel melangkah pelan dan anggun di depan kami dengan diiringin musik lembut piano dan biola mengalun dari panggung kecil di sudut. Cuaca malam ini begitu sempurna, langit malam dengan Bintang-bintang kecil, dengan cahaya lampu kecil yang terhias di atas kami. Langit Bandung malam ini, merestui pernikahan mereka.
Kami para bridesmaid dan groomsman, aku, Damar, dan 2 pasangan lagi-teman Jo dan Mikel, mengikuti langkah Jo dan Mikel di belakang.
Aku berjalan berdampingan dengan Damar, dengan mengalungkan tanganku pada lengan Damar yang kokoh, berdiri tepat di belakang Jo dan Mikel. Langkah kami serempak mengikuti irama pengantin, seperti paduan yang tak perlu diatur. Tangan kananku memegang buket bunga kecil yang dipilih Jo sendiri untuk kami-mawar putih dan daun hijau lembut.
Gaun bridesmaid kami pun sama serentak dengan model yang sederhana. Gaun Panjang berwarna burgundy dengan desain off-shoulder yang memiliki aksen lipit di bagian dada dan lengan dengan potongan leher berbentuk V, ada belahan tinggi di bagian depan kaki kiri. Model ini di pilih langsung Jo, dia ingin para bridemaidnya tampil Anggun dengan sedikit seksi.
Aku pribadi, menambah anting kecil berdesain modern, sandal high heel berwarna nude dengan tali tipis. Rambutku, kuikat rapi dengan poni ping gir. Tubuhku kusemprot parfume aroma bunga yang menyegarkan.
“Berapa lama elo dandan gini, Nash?” bisik Damar hingga embusan napasnya terasa di telingku.
Aku sedikit menengok padanya sesaat membuat mata kami bertemu, senyum jail terhias di wajah yang begitu cerah dan bersih.
“2 jam,” jawabku memalingkan mataku dari tatapannya.
Jantungku tidak lagi aman setiap kali beradu pandang dengannya.
Damar mengangguk, lalu menarik wajahnya kembali. “Lumayan.”
“Lumayan?!” protesku setengah kesal, “wah! Gue duduk dua jam di depan meja rias kamar hotel. Elo bilang, lumayan?!” aku menatapnya dengan jengkel.
Damar tersenyum puas, lalu ia menatapku dalam. “Engga, deng. Cantik sekali …”
Aku tersenyum senang. “Elo juga!”
“Gue? Cantik juga?!” baliknya memastikan menatapku.
Aku tertawa kecil. “Glowing banget. Ganteng maksimal.”
“Ooo…” Damar menyentuh wajahnya sesaat lalu senyum senang menghiasi wajahnya, “ternyata kami para cowok juga di kasih make up artist. Kata si Jo, dia engga mau liat groomsman-nya kumel, kusut.”
Aku menganggukan kepala. “Gue setuju sih. Dengan kita berpakain rapi, berdandan sebaik mungkin yang kita bisa dan mampu saat datang ke pernikahan, itu salah satu bentuk menghargai pengantin yang udah mengundang kita.”
“Setuju.”
Dan para groomsman, termasuk, Damar. Mereka mengenakan setelan jas dan celana Panjang berwarna maron dengan kemeja putih polos di dalamnya. Tentu saja, ini pun pilihan Jo, dia ingin para groomsman berpenampilan formal, gagah, namun tetap Santai.
Damar dengan postor tubuhnya yang atletis sangat cocok dengan setelannya, ditambah dengan kulit putihnya yang begitu pas dengan warna maroon. Rambut pendeknya di potong dengan gaya klasik, di sisir rapi kebelakang dengan belahan kiri.
Dan sepatunya, menggunakan Sepatu kulit berwarna coklat gelap dengan celana panjang hingga mata kakinya. Mempertegas kharismatik dan maskulin dalam dirinya. Aroma tubuhnya yang beraroma wood, spicy, menambah daya Tarik dalam dirinya. Aku harap, aku cukup baik berjalan di sampingnya.
Langkah kami terhenti, Jo dan Mikel melangkah maju, lalu membalikan tubuh mereka ke arah kami. Para tamu maju mendekati kami, barisan para bridesmaid dan groomsman melebur, membentuk setengah lingkaran dengan Jo dan Mikel berdiri di antara kami.
Mataku menangkap sosok Jovanka yang begitu cantik, bersinar dan anggun. Melihatnya bak seorang putri, membuatku terharu, membuatku emosional, perasaanku campur aduk melihat Jo yang tampak berbeda dengan segala auranya yang terpancar terang.
Jo memakai gaun pengantin berwarna putih dengan bagian bawah seperti rok yang mengembang seperti putri dalam cerita dongeng. Gaun pengantin bordiran mutiara, payet, dan manik-manik berkilau, membuat gaunnya terkesan mewah. Model leher V yang dalam dengan bahan tulle yang menutupi bagian dada dengan lengan Panjang yang transparan memperlihatkan kulitnya yang putih.
Sedangkan, rambut panjangnya ditata low ponytail belah tengah, memberi Kesan klasik dan Anggun dengan aksesories tiara elegan bunga di atas kepalanya, seperti peri.
Mikel sendiri, sosok yang tampan dan gagah. Rambut pendeknya di tata rapi, dengan setelan jas putih bersih, dengan kemeja putih di dalamnya tanpa dasi. Ada bunga kecil putih dengan tangkai hijau yang menempel di bagian jas dada kirinya.
Senyum merekah terlihat jelas dan indah di wajah cantiknya, ada sentuhan lembut dan hangat di hatiku, kembali membuat kedua mataku terasa basah.
Tadi pagi, saat pemberkaatn pernikahan Jo dan Mikel, aku hadir di antara keluarga dan teman-teman terdekat lainnya,
Hanya saja, karena aku datang terlambat, aku duduk di belakang, tidak Bersama Damar yang sudah duduk di depan Bersama keluarga Jo.
Saat aku melihat, mendengar Jo dan Mikel mengucapkan janji suci mereka penuh dengan penghayatan hingga suara mereka terdengar gemetar, dengan Jo menangis menatap penuh cinta dan harap pada Mikel yang tengah mengucapkan janjinya, berhasil menyentuh hatiku hingga tanpa sadar, aku menangis haru dan bahagia.
Semua emosiku campur aduk saat itu, kebahagian dan kelegaanku, terharu karena aku di sini menyaksikan salah satu bagian terpenting dalam fase kehidupan Jo. Dan sedih, karena ada kekhawatiran apa aku dan Jo masih bisa bepergian bersama? Seperti sebelumnya.
Selama kami berteman, apalagi sejak satu kantor. Aku dan Jo selalu meluangkan waktu untuk pergi bersama, entah itu sekedar ngopi, liburan Bersama, belanja, dan jalan-jalan random mengelilingi Bandung.
Kami juga beberapa kali saling menginap, menginap di rumah Jo, dan sebaliknya. Sepanjang malam kami mengobrol, menceritakan segala keresahan kami dan cerita masa remaja kami yang sudah lewat lama, kisah lama di masa konyol dan bodoh kami, selalu berhasil membuat kami tertawa.
Lampu-lampu kecil menari di atas kepala, orang-orang etrtawa, music lembut mengalun-semua terasa hangat. Tapi kenapa, di tengah semua itu, ada ruang kecil dalam dadaku yang terasa sepi.
Aku mengembuskan napas pendek, melepaskan segala rasa sesak. Aku Bahagia, sungguh. tapi juga ada kesedihan yang menghampiriku, karena mungkin akan ada jarak di antara kami.
Damar melepaskan tanganku yang tengah merangkul lengannya membuatku menengok padanya dengan heran. Ia merangkul pundakku. Sentuhannya lembut hampir tak terasa, tapu cukup untuk membuat napasku terhenti sejenak. Aku menengok padanya, menemukan ia tengah menatapku, matanya tenang dan dengan suaranya, ia bertanya padaku.
“Kenapa? Kok, elo keliatan sedih?” tanyannya menatapku cemas,
Apa begitu terlihat?
Aku menggelengkan kepala. “Bukan sedih, tapi terharu.”
“Oo…” Damar tersenyum kecil dengan masih mengelus lembut lenganku, dan elusannya membuatku tenang.
“Selamat malam semuanya, terima kasih sudah hadir di intimate party pernikahan dari Jovanda Alexsandra dan Mikel Hutomo di malam hari ini,” ucap MC membuka acara dengan riang dan semangat.
“Acara ini, dilangsungkan secara intimate, santai, dan hangat. Para tamu yang hadir tidak perlu cape-cape mengantri, karena pengantin akan menghampiri kalian, berbincang dengan kalian dan bahkan menari dengan kalian…” lanjutnya dengan senyum merekah yang riang.
“Dan kami persilakan para tamu undangan untuk menyantap hidangan sambil bercengkarman dengan pengantin,” MC menutup pembukaan, dan suara music dari piano terdengar kembali.
“Kita ke Jo dulu, yuk?!” ajakku pada Damar.
“Ayo,” senyum Damar, melepaskan rangkulannya dari pundakku.
Langkah kami Bersama menghampiri Jo, aku melangkah terlebih dahulu dengan Damar mengikuti langkahku di belakang. Terasa sentuhan kecil di pinggang belakangku, tangan Damar memegang pinggang belakangku dengan tingan.
Setiap sentuha kecilnya, entah kenapa aku merasa senang. Seperti seseorang tengah menjaga dan menemaniku. Tidak membiarkanku seorang diri di antara keramaian yang kadang membuatku gugup.
Mata Jo menemukanku, senyum merekah terhias di wajahku, ia melangkah anggun menghampiriku.
Kami mendekat satu sama lain dengan mata kami saling menatap haru, aku bisa merasakan getaran yang mengharukan di antara kami.
Langkah kami terhenti, kedua tangan kami saling merengkuh, dan mata kami berkaca.
“Selamat ya … I’m happy for you,” ucapku lirihku menatapnya penuh.
Jo menganggukan kepala dengan mata yang berkaca. “Thank you?!”
Dan kami pun berpelukan erat, hangat.
Aroma bunga yang segar tercium jelas dari tubuhnya, aku mengelus-ngelus lembut punggung kurusnya ini. Mendoakannya dengan sepenuh hatiku.
Kami melepaskan pelukan kami, dan kutemukan Jo menitikan air mata menatapku dengan kedua matanya yang berkaca.
“Uuhh jangan nangis dong!” aku mengusap air matanya. “Make up elo luntur entar.”
Jo tertawa kecil. “MUA gue mahal, gak akan luntur. Aman.”
Aku mengapus air mataku. “Tetap ya …”
Jo tersenyum bangga. “Makasi ya, sekali lagi.” ucapnya mengelus-ngelus kedua lenganku.
“Sama-sama.”
Jo melirik Damar, aku melangkah mendekati Mikel lalu mengucapkan selamat padanya, dan memintanya untuk selalu menjaga Jo.
Damar memeluk Jo erat dan dekat, tubuh mereka bergoyang-goyang riang. “Kuat-kuat deh elo ya malam pertamanyaaa…”
“Kuat gue, brow!” seru Jo selepas mereka dari pelukan.
Damar tertawa kecil. “Selamat, ya?!” ucapnya mengelus lengan Jo.
“Thank you?!” senyum Jo menatap Damar dengan binaran dalam sorot matanya.
Damar pun menghampiri Mikel, mereka berpelukan, dan setelah itu, kami berempat berfoto.
“Mari kita makan,” seru Damar selepas kami dari Jo dan Mikel.
“Iya, jalannya pelan-pelan. Hak tinggi, nih,” pintaku melangkah hati-hati dengan sedikit mengangkat gaunku, di tanah berumput rapi dan basah ini.
Damar menghentingkan langkahnya membuat langkahku terhenti, ia membalikan tubuhnya menatapku.
“Sini,” ia menyodorkan tangannya padaku untuk kuraih.
Malam yang dingin dengan embusan angin yang lembut, gemerlap Cahaya dari lampu-lampu kecil yang menggantung, dan keramaian para tamu yang terasa hangat. Sesaat aku hanya menatap tangan yang terbuka padaku, tangan yang tengah menunggu untuk kuraih, tangan dari seorang laki-laki yang berdiri tegap di hadapanku, raut wajah yang terkesan dingin namun memiliki sorot mata yang hangat dengan seribu makna, dengan senyum tipis yang tertahan.
“Wow so gentle!” pujiku tersenyum padanya, menyembunyikan kegugupan dan keresahanku akan dirinya.
“Kalau elo jatuh, keseleo, gue juga yang repot.”
Aku mengulum senyumku. “Iya…”
Perlahan tanpa keraguan sedikit pun, aku meraih tangannya, dengan cepat ia tangannya mendekap tanganku, erat.
Damar tersenyum lembut menatapkku, lalu ia membawaku mengikuti langkahnya, menuntunku.
Dalam diam yang mendebarkan, mataku menatap sosoknya yang berjalan di sampingku. Jantung berdetak cepat, kegugupan dan keresahan memenuhi diri ini. Namun, ada kesenangan yang meletup-letup dalam relung hatiku membuat aku tersenyum begitu saja.
Dalam setiap Langkah kami, dalam keramain para tamu yang saling berbincang, dalam dinginnya malam dan alunan piano yang lembut menemani waktu yang terlewati, aku cukup menikmati keramaian ini.
Kami melewati beberapa rekan kantor yang kami kenal, satu angkatan dengan kami. Sesaat kami menyapa mereka ramah, tidak lama, kami meninggalkan mereka. Dan terdengar bisik-bisik samar dari mereka menemukan kedekatanku dan Damar.
Aku melirik pada Damar, apakah dia terganggu?