Rengkuh

Lily N. D. Madjid
Chapter #1

Bab I Ramadhan Tiba

BRUUUUM!

Si Belalang, motor kesayanganku meluncur mulus memasuki garasi. Suara yang keluar dari knalpotnya yang sudah kumodifikasi memekakkan telinga. Bunda merapatkan kedua tangannya di sisi kepala. Menahan bising. Lalu menutup kembali pagar halaman.

Kulepas helm dan meletakkannya di atas kotak penyimpanan, di sudut garasi. Lalu gegas berjalan menuju kamarku di paviliun, yang berada di sisi utara rumah kami, setelah menutup rapat garasi. Sambil melangkah, kulepaskan jaket yang kukenakan. Bunda belum masuk ternyata. Ia masih berdiri di depan pintu paviliunku.

“Dari mana saja? Kok pulang kerja selarut ini?” tanyanya lembut.

“Main,” jawabku tak acuh.

“Sampai larut begini?”

Ck! Jati cuma hangout bareng teman, Bun.”

“Jati,” Bunda menarik nafas dalam-dalam. “Besok hari pertama Ramadhan. Seharusnya kamu tarawih, bukannya ….”

“Bun, please, Jati capek, mau tidur,” selaku. Lagi-lagi bunda hanya menarik nafas dalam. Ia menggelangkan kepalanya berulang-ulang.

Yah, bagaimana lagi? Ini sudah hampir pukul dua, dan aku sudah mengantuk. Tidak mungkin kudengarkan ceramah Bunda tengah malam begini, bukan?

“Ya sudah, tidur sana. Sudah salat Isya belum? Kalau belum salat dulu."

“Hmmm ….”

“Jangan lupa nanti sahur.” Bunda menatapku lekat sebelum berbalik dan melangkah memasuki bangunan utama rumah kami.

“Ya,” gumamku.

Kuputar kenop pintu lalu masuk. Aku memang tak pernah mengunci kamarku. Repot. Kalau kukunci nanti Bunda tidak bisa masuk untuk membersihkannya. Hanya saja, ada konsekuensi, aku tentu tak lagi sepenuhnya memiliki privasi atas kamarku sendiri. Kakak dan adikku bisa saja menjajah kamar ini, terutama saat aku sedang tidak di rumah.

Kulempar jaket ke sudut kamar, kemudian merebahkan diri di atas kasur yang spreinya tertarik ketat ke sisi-sisinya. Rapi. Aah, nyaman sekali. Mataku yang sejak tadi sudah berat langsung terpejam. Sepatu belum sempat kulepas. Ah, nantilah. Aku sungguh mengantuk.

Hei, belum Salat Isya.

Satu suara hadir di kepala. Seperti bel yang berdenting dalam pikiran. Hmmm … sebentar, aku berbaring dulu. Sebentar saja. Tak lama aku sudah terbang ke alam mimpi, dengan sepatu yang masih kukenakan.

*** *** ***

 

 “Kak, Kak Jati, bangun! Kak Jati! Bangun!”

 Kurasakan satu tangan mengguncang bahuku. Mulanya pelan, tetapi kemudian guncangannya semakin keras. Ck! Ini pasti ulah Jeihan. Aku masih mengantuk, Jei.

 “KAK JATI! BANGUUUN!”

Sialan! Bocah tengil itu malah berteriak di telingaku. Spontan aku bangun dengan kepala yang terasa berdenyut-denyut.

 “Jei! Apa-apaan sih, lo?”

 “Bangunin Kak Jatilah.”

 “Gue masih ngantuk! Baru juga tidur!”

 “Eee … bukan urusan Jeihan kali, Kak. Jei cuma disuruh Bunda bangunin Kakak,” katanya sambil cengengesan.

Lihat selengkapnya