Aku berjalan menuju ruang makan dengan mata setengah terpejam. Sumpah, aku masih mengantuk. Baru tidur berapa jam saja, lalu harus bangun lagi untuk sahur. Walaupun begitu, tetap saja kupaksakan. Bukan apa-apa sih, tapi perutku juga ternyata sudah keroncongan. Ha-ha!
Saat berbuka di waktu magrib tadi, aku hanya makan seadanya. Jadi ya, begitulah. Aku ini memang cepat lapar. Maklum, sedang dalam masa pertumbuhan. Dih, joke garing! Biar sajalah. Sometimes, garing is my middle name. Tuh kan, garing. Ha-ha-ha.
“Weisss! Tumben nih, Kak Jati sudah ke sini tanpa harus Jei bangunin!” Suara cempreng Jeihan menyambut, saat aku memasuki ruang makan. Bocah itu sudah duduk manis sambil menyeruput teh yang terihat masih mengeluarkan uap tipis. Dan hei? Itu, si Babeh juga sudah ada di sana.
“Wih, ada Babeh. Kapan pulang, Beh? Tumben amat,” sapaku dengan nada yang jelas sekali terdengar kubuat-buat.
Bunda yang masih sibuk mengurus gorengan di wajan menoleh cepat, lalu menatapku tajam. Sinar matanya menyiratkan agar aku diam.
“Dari pagi juga udah di sini. Kamu sendri darimana? Keluyuran aja.” Babeh mengikuti jejak Jeihan menyeruput teh panas dengan nikmat.
“Lha, Jati ‘kan kerja, Beh,” sahutku. Mencoba mencomot sepotong gorengan di atas piring. Gagal, Bunda keburu menepis tanganku.
“Cuci muka dulu, cuci tangan sekalian,” katanya galak.
“Yaelah, Bun. Satu doang, juga.” Aku memasang wajah memelas. Bunda tak peduli. Si tengil Jei cekikikan. “Apa lo?” kugertak dia sebelum berjalan menuju wastafel untuk mencuci muka.
“Dih, apa dah?” Jeihan malah ngakak.
“Sudah, sudah. Ayo kita mulai makan,” kata Bunda tegas.
Aku kembali ke kursiku. Memperhatikan Bunda yang mengisi piring-piring kami. Jeihan masih khusyuk menghabiskan tehnya. Tunggu dulu. Ada yang kurang ini. Kak Jenar! Mana dia?
“Kak Jenar gak sahur?”
“Nggak, Kakak lagi berhalangan,” sahut Jeihan lesu.
“Dih, Kak Jenar yang berhalangan kenapa lo yang sedih?”
“Yaaa … Jeihan juga ‘kan pengen libur puasa, Kak.”
Gubrakkk!
*** *** ***
“Jati, tunggu!” Kak Jenar berlari mengejarku dari dalam rumah, saat aku akan menghidupkan mesin si belalang. “Aku ikut, ya?” katanya.
“Emang Kakak mo ke mana?” Aku mengerutkan kening. Ya, heranlah, sebab arah kantorku dan kantor Kak Jenar itu beda arah 180 derajat. Bagaimana ceritanya coba, dia mau ikut aku.