Rasa haus yang menyengat membuatku terbangun. Duh, kering sekali rasanya mulutku. Kulirik jam yang menempel di dinding. What? Pukul sebelas? Ini maksudnya sebelas malam atau siang? Aduh, kenapa aku jadi kehilangan orientasi begini?
Segera aku bangkit. Berjalan sempoyongan ke arah jendela kamar paviliun. Tanganku menyibak gorden. Di luar sana matahari sudah tinggi. Sudah siang? Berarti ....
Aku berjalan ke luar kamar. Ah, kepalaku berdenyut-denyut kuat. Pening sekali. Di halaman kulihat Bunda sedang menyiangi rumput taman. Aku kemudian duduk di bangku teras memperhatikannya sambil memijat-mijat kepala. Bunda menoleh lalu mendekat.
“Baru bangun?” tanyanya. Aku mengangguk.
“Kenapa Jati nggak dibangunkan sahur sih, Bun?” Aku balik bertanya. Bunda malah melotot.
“Hei, bolak-balik Jeihan bangunin kamu, tapi kamu nggak bangun-bangun. Salah siapa kalau begitu?”
“Masa?”
“Apa perlu besok kamar kamu Bunda pasang CCTV?”
“Hah?”
“Kamu itu pulang jam berapa semalam?”
Nah, nah, mulai deh Bunda mengomel. Bakal panjang urusannya ini.
“Bunda ‘kan sudah bilang, pulang kerja langsung pulang. Jangan keluyuran terus, jangan pulang larut terus,”
“Jati nggak keluyuran, Bun. Jati di rumah Ogay, ada—”
“Iya, tapi kamu pulang larut malam, ‘kan?” Bunda memotong kalimatku. “Ini bulan Ramadhan, Jati. Harusnya kita isi dengan ibadah, dengan hal-hal baik yang bermanfaat, bukannya begadang-begadang nggak jelas seperti itu. Akhirnya apa? Kamu tidur sampai siang. Nggak bisa dibangunin sahur. Kalau begini yang rugi siapa?”
Zzzzzz … Zzzzz …
“Jati!” Bunda menarik telingaku.
“Adu-duh, Bun sakit!”
“Kamu itu ya, dikasih tahu malah tidur,”
“Nggak, Bun, nggak. Itu tadi Jati cuma pura-pura. Sumpah!”
“Nggak usah sumpah-sumpah, sana mandi!” Bunda berdiri. Sepertinya ia kesal, lalu kembali ke taman. Duh, sial, sial. Sudah terlewat sahur, sekarang harus sarapan omelan Bunda juga.
Hih!
*** *** ***
Aku mengguyur tubuh dengan air dingin. Ah, segar. Mulut pun segar setelah sikat gigi. Lumayanlah, rasa haus jadi sedikit berkurang. Ha-ha-ha. Eh, tapi batal tidak ya, puasaku? Ah, rasanya sih tidak. Aku ‘kan tidak menelan airnya. Besoklah aku tanya sama Bang Gery di kantor.
Untungnya ini hari Minggu. Jadi aku masih bisa rebahan lagi setelah ini. Sungguh aku rasa aku masih perlu tidur beberapa jam lagi. Gara-gara begadang tadi malam. Mmm … jadi semalam Empty Room sudah mulai latihan. Sebenarnya pukul sebelas kami sudah selesai sih, tapi ….
Ah ini gara-gara Ogay dan Bedul.
Iya mereka yang memulai. Jadi, mereka menantang kami uji nyali. Bukan, bukan uji nyali yang berhubungan dengan hantu-hantu. Bukan yang seperti itu. Jadi begini, di lemari pendingin di rumah Ogay, ada satu botol Brandy—jangan tanya aku dari mana si Ogay punya itu. Nah, dengan minuman itulah dia menantang kami. Siapa di antara kami yang paling kuat minum.
Bodohnya, aku mau. Yah, sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku mencoba minuman sejenis itu. Aku pernah, minum sekali dua kali. Tapi bukan untuk memenuhi tantangan seperti semalam. Akhirnya, begitulah. Aku mabuk. Kami berempat, tepatnya. Aku, Panji, Ogay, dan Bedul. Hanya Satria yang tidak. Sebab dia tidak ikut tantangan itu.
Harusnya aku seperti Satria. Teguh berpendirian. Nyatanya aku ini tergolong emosional, dan kurang bisa mengontrol emosi. Waktu Ogay dan Bedul bilang kalau aku cemen karena tak mau menjawab tantangan mereka, egoku langsung memuncak. Saat itu juga langsung kuteguk dua sloki minuman itu sekaligus. Lalu tumbang sebelum sloki ke lima kuhabiskan.
Untungnya ada Satria. Kalau tidak, tentu aku tak bisa pulang. Kepalaku pusing. Pandangan yang memburam membuatku tak bisa mengendarai si Belalang. Jadi Satrialah yang semalam mengemudi dan membawaku pulang.