“Aku mau menyudahi ikatan dengan Bang Rifqi."
Aku terkejut. Kutatap wajah Kak Jenar lama. Dia terlihat muram. Tangannya meremas-remas ujung baju. Aku dan Kak Jenar sedang bicara di teras depan. Sengaja aku menunggunya di sini sejak pulang dari mengantar Monic.
Sewaktu mengejar Kak Jenar tadi, aku tertinggal lumayan jauh. Kepadatan lalu lintas juga menghambat langkahku saat mengikuti mereka menyebrang jalan. Akhirnya aku kehilangan jejak. Akan tetapi aku sempat melihat wajah laki-laki yang bersama Kak Jenar. Memang bukan Bang Rifqi. Rasa-rasanya aku pernah melihat wajah itu sebelumnya, tetapi lupa di mana.
“Seriusan, Kak? Jangan sembarangan mengambil keputusan. Coba kakak pikirkan lagi,” kataku. Kak Jenar menggeleng kuat.
“Sudah Kakak pikirkan, Jati. Aku … maksudku, perasaanku ke Bang Rifqi sudah menguap.” Kak Jenar menatap mataku. Seperti ingin menegaskan betapa seriusnya apa yang saat itu dia ucapkan.
“Bagaimana mungkin?”
“Mungkin saja.”
"Tapi apa penyebabnya? Nggak mungkin ‘kan perasaan yang sebelumnya begitu kuat pada seseorang, lalu hilang begitu saja?” tanyaku. Aku betul-betul tidak mengerti. Bagaimana bisa?
“Banyak hal bisa saja menjadi penyebabnya dan itu sama sekali tidak terjadi tiba-tiba. Kalau kujelaskan padamu pun belum tentu kamu mengerti.” Kak Jenar menarik nafas dalam. Ia meletakkan punggungnya pada sandaran bangku yang ia duduki, lalu melamun.
Ah, aku pusing. Aku ingin bisa mengerti jalan pikiran Kak Jenar, tetapi sulit. Bayangkan, dia tiba-tiba saja memutuskan untuk mengakhiri ikatan pertunangannya dengan Bang Rifqi. Padahal, apa sih kurangnya Bang Rifqi? Sebagai seorang lelaki, aku saja menganggap dia lelaki yang menarik. Bang Rifqi tampan juga baik. Ia ramah, sudah bekerja walaupun mungkin belum terlalu mapan, tetapi itu bisa berproses ‘kan? Apa lagi yang Kak Jenar inginkan?
“Sudahlah, Jati. Kamu nggak perlu pusing-pusing. Ini masalahku. Biar aku yang menyelesaikannya. Kamu doakan saja aku mendapatkan yang terbaik untuk hidupku.” Kak Jenar menandangiku lalu tersenyum tipis.
"Hmmmfft!” Aku menarik nafas dalam.
Ah, Kak Jenar ….
“Aku rasa aku akan mampu menyelesaikan permasalahan ini, Jati. Tenang saja.” Dia menepuk bahuku lalu bangkit dari duduknya.
“Bunda sudah tahu tentang hal ini?”
“Nanti kuberi tahu.” Ada sedikit sorot khawatir terlihat di mata Kak Jenar saat mengatakan hal tersebut. Yah, semoga semua berjalan lancar, Kak. Aku berdoa dalam hati.
*** *** ***