“Kamu nggak usah ikut campur deh, Jati!”
Kak Jenar murka sewaktu aku lagi-lagi mengajaknya bicara soal lelaki itu. Iya, lelaki berwajah dingin yang sore tadi bertemu denganku di pasar. Sebenarnya aku bukan mau ikut campur. Aku hanya care pada Kak Jenar. Aku peduli. Dia kakak satu-satunya yang aku punya. Aku tidak mau terjadi apa-apa padanya.
Namun, Kak Jenar tidak mau mendengar masukanku. Entah apa yang merasukinya, sampai-sampai sepertinya dia cinta mati pada lelaki itu. Buta. Kak Jenar benar-benar sudah dibutakan oleh cinta. Aku tak tahu apa yang membuat dia begitu tergila-gila pada si wajah dingin.
“Kenapa Kak Jenar nggak mau Jati ikut campur? Jati ini cuma mau menjaga Kakak. Aku nggak mau kakak menyesal ke depannya.” Aku balas berseru.
“Memangnya menurutmu, kenapa aku harus menyesal?”
“Ya Kakak lihatlah orangnya, bagaimana dia itu? Dia preman, Kak! Apa kakak nggak ngerti apa artinya?”
“Jati, kamu jangan suka memandang orang dengan sebelah mata, ya. Jangan suka menilai orang lain hanya dari tampilan luarnya saja. Kamu nggak mengenal Aray, kan? Lalu kenapa kamu merasa berhak untuk menilai dia? Memberi cap negatif sementara kamu sendiri nggak tahu bagaimana dia sebenarnya.”
“Ya, ampun, Kak. Jati sudah lihat dengan mata kepala Jati sendiri, bagaimana dia dan anak buahnya memeras pedagang-pedagang di pasar tadi!”
“Sudah cukup! Sekali lagi aku bilang, jangan mencampuri urusanku. Kamu urus saja diri kamu sendiri. Kayak dirimu itu sudah paling benar, paling baik, paling—“
“Paling apa?” teriakku kalap.
“Paling suci!” sembur Kak Jenar. “Memangnya aku tidak tahu kelakuanmu di luar sana? Tukang nongkrong nggak karuan, begadang tiap malam, minum! Apa? Hah? Kamu mau mengelak? Memangnya kamu pikir aku tidak tahu? Kamu itu tidak sebaik yang kamu kira.”
“Apa Kakak bilang?”
“Kamu mau mengelak?”
“Kak, kamu—“
“Jenar! Jati!”
Aku dan Kak Jenar tersentak. Bunda tiba-tiba saja sudah berdiri di ambang pintu kamar Kak Jenar, tempat kami bertengkar sejak tadi. Matanya berkaca-kaca. Bunda mengelus dada sambil menggelengkan kepala.
“Kalian itu, ya ….”
“Bun!” Aku mendekat ke arah Bunda, tapi Bunda menjauh. Kak Jenar diam di tempatnya berdiri tadi. Dadanya naik turun mencoba meredam emosi.
“Keluar, Jati!” kata Bunda. Ia mendahuluiku keluar dari kamar itu. Aku bergegas mengikuti langkah kaki Bunda. Sekali lagi aku menoleh ke arah Kak Jenar yang masih diam di tempatnya. Jujur aku masih kesal padanya, tapi….
*** *** ***
Sejak itu Kak Jenar berubah. Ia seperti orang asing di rumah ini. Semua dianggapnya sebagai musuh. Bahkan pada Jeihan juga. Padahal anak itu ‘kan tidak tahu apa-apa tentang masalah ini. Atau mungkin tahu, tapi tak mau tahu, sebab baginya K-Pop dan drama Korea lebih menarik perhatian.