Seperti biasa, setiap aku pulang suasana rumah selalu sudah sepi. Kakak dan adikku biasanya sudah tidur. Aku memasukkan si Belalang perlahan ke dalam garasi. Setelah itu beranjak menuju kamarku di paviliun. Kuputar kenop pintu kamar. Astaga! Saat baru saja akan melangkah memasuki kamar, mataku menatap satu sosok meringkuk di atas kasur.
Kunyalakan lampu, lalu mendekat ke arah sosok yang menyelubungi diri dengan selimut. Siapa itu? Perlahan kusibak bagian selimut yang menutupi wajah dengan jantung berdebar.
Ya ampun!
“Jei?”
Kenapa anak ini ada di sini? Apa … apa dia tertidur saat sedang menjajah kamar? Kuulurkan tangan untuk mengguncang bahunya, tapi melihatnya tertidur nyenyak, aku jadi tak tega untuk membangunkan.
Aku berdiri, meletakkan ransel yang ternyata masih kusandang sejak tadi. Berjalan ke kamar mandi di sudut kamar untuk membersihkan diri. Setelah itu kugelar karpet kecil, mengambil sebuah bantal lalu merebahkan diri di lantai.
Entah berapa lama aku terlelap. Aku bahkan bermimpi telah terjadi gempa besar. Dalam mimpi itu, kulihat rumah yang kutinggali runtuh. Kami penghuninya kocar-kacir berhamburan. Aku takut juga bingung mencari tempat perlindungan. Gempa itu masih belum berhenti. Tanah retak di dekat kakiku. Aku terguncang. Kedua kakiku terperosok dalam celah retakan tanah. Guncangan semakin keras.
Kubuka mataku seketika. Dua tangan mengguncang bahu. Aku bangun dengan nafas tersengal.
“Jei?”
“Kak Jati mimpi ya? Kok teriak-teriak begitu?”
“Beneran gue teriak barusan?”
“Iya. Kak Jati mimpi apa?” Jeihan menatapku. Aku menggeleng, balas menatap matanya. Baru aku sadar kalau matanya bengkak.
“Jei? Lo … eh, mata lo kok bengkak gitu? Lo abis nangis?” Jei terdiam. Lalu wajahnya mengerut seperti akan menangis lagi.
“Jei takut, Kak ….”
"Takut? Takut apaan?”
“Ta-tadi, Ayah sama Bunda—”
“Kenapa?”
“Mereka berantem.”