Rengkuh

Lily N. D. Madjid
Chapter #9

Bab 9 Menyusur Rantai Masalah

Aku tiba di terminal Kampung Rambutan tepat ketika azan Magrib bergema. Bunda tampak sedang melamun saat kutemui. Ia berada di kantor petugas terminal. Duduk di sana dengan tatapan kosong. Wajahnya terlihat pucat dan letih. Petugas bilang, saat turun dari Bus APTB jurusan Bogor—Jakarta, Bunda nyaris saja pingsan.

Turun dari bus Bogor—Jakarta? Kenapa Bunda menaiki bus itu? Aku bingung, tapi tak bisa menanyai Bunda saat itu juga.

"Ayo, Bun. Kita cari tempat makan ya?"

"Bunda mau langsung pulang saja, Jati." kata Bunda lemah.

"Sudah azan, Bun. Kita berbuka dulu. Lihat itu, Bunda pucat banget."

"Takjil saja ya? Setelahnya kita pulang."

Aku mengangguk. Menggandeng tangan Bunda dan mengucap terima kasih pada petugas terminal yang tadi sudah menolong Bunda. Setelah itu kami berlalu.

Bunda lahap menghabiskan bubur kacang hijau yang kami beli di warung tenda luar terminal. Rupanya ia sangat lapar. Yah, sebenarnya semua juga lapar sih ya, apalagi setelah seharian berpuasa seperti ini. Ah, pokoknya Bunda tidak seperti biasanya. Mungkin kerena ia makan sedikit saja saat sahur tadi, dan hari ini mengeluarkan energi lebih karena pergi entah ke mana.

Omong-omong soal pergi, baiknya aku tanyakan sekarang atau nanti saja ya? Aku betul-betul penasaran, pergi ke mana Bunda seharian tadi? Dan untuk apa?

Aku berdehem. Bersiap akan mengajukan pertanyaan yang memenuhi benakku sekaligus menghilangkan keraguan.

"Ehm!"

"Jati, sebelum pulang kita cari masjid dulu. Kita salat," kata Bunda. Hah? Langsung ke masjid? Duh gagal dong rencana mau tanya ke Bunda.

"Oke, Bun. Kita ke masjid sekarang?"

"Kamu sudah selesai?"

"Sudah ludes." Aku nyengir, menunjuk dua mangkuk kosong bekas bubur kacang hijau dan remah-remah sisa dua keping roti tawar yang tadi kumakan. Yaa, mau bagaimana lagi. Aku juga lapar berat 'kan?

***    ***    ***

 

Sudah hampir setengah jam aku menunggu Bunda di teras masjid. Lama betul Bunda di dalam. Itu orang-orang yang mau salat Isya dan Tarawih sudah mulai berdatangan. Kujengukkan kepala di pintu masuk bagian perempuan. Bunda masih kulihat bersimpuh.

Tak lama Bunda menyudahi doanya. Melipat mukena yang tadi dipakai, kemudian menghampiriku keluar. Kulirik wajahnya. Ada sisa-sisa air melekat di bulu mata. Ah, Bunda menangis lagi?

Kuminta Bunda menunggu di gerbang saat aku mengambil si Belalang di parkiran. Lalu kami melaju saat muadzin mulai mengumandangkan azan.

"Bun!" seruku mengatasi suara deru lalu lintas jalan raya. "Bunda nggak akan sekalian Salat Isya dulu? Sudah azan. Kalau mau biar Jati cari masjid lain." kataku, karena tidak memungkinkan berbalik ke masjid tadi.

"Tidak apa. Bunda salat di rumah saja." Bunda balas berseru. Suaranya nyaris saja tenggelam oleh kebisingan kendaraan di jalan.

***    ***    ***


Aku termenung di meja kerjaku di kantor. Masih memikirkan Bunda dan kesedihannya. Semalam, setelah sampai di rumah, aku sempat mendengar Kak Jenar dan Jeihan menanyakan kemana Bunda pergi. Bunda tidak menjelaskan kemana. Hanya mengatakan bahwa dia ada urusan.

Aku tidak mau ikut mencecar Bunda dengan pertanyaan serupa, karena aku tahu akan mendapat jawaban yang sama. Jadi aku diam. Hanya saja, rasa penasaranku semakin memuncak. Mungkin sekarang sudah sampai ke ubun-ubun kepala. Haha. Rasanya seperti sedang mencari jawaban suatu teka-teki saja.

Hmmm....

Aku ingin sekali memecahkan teka-teka ini. Ada rahasia apa yang disembunyikan Bunda? Satu-satunya petunjuk yang kuketahui adalah semua ini terjadi setelah pertengkaran hebat Bunda dengan si Babeh.

Lihat selengkapnya