"Woi Jati! Tungguin gue!"
Sayup kudengar suara seruan itu menembus ruang dengarku. Siapa?
Perlahan kubuka mata. Suara itu masih juga terdengar. Semakin sayup. Seperti ... suara Satria? Sedang apa dia? Akhirnya kupaksakan diri untuk bangun. Aku berjalan keluar kamar. Di kamar sebelah, Ogay dan Panji masih terlelap. Bedul pun masih nyenyak meringkuk di atas sofa ruang depan. Aku melangkah ke luar.
Brrr...
Dingin.
Padahal matahari sudah cukup tinggi.
Di kejauhan kulihat Satria berjalan mendekat. Kupanggil dia. Bisa kulihat ekspresi terkejut di wajahnya yang memerah. Satria mendekat. Keningnya berkeringat.
"Dari mana, lo? Olah raga?" tanyaku. Aku duduk di kursi teras sambil memeluk lutut. Dingin.
"Jati? Sejak kapan lo di sini?" tanya Satria.
"Baru aja. Gue baru bangun waktu lo teriak-teriak tadi," kataku. Menguap lebar. Satria malah melotot. Matanya terbelalak lebar.
"Seriusan lo baru bangun?"
"Iya. Kenapa memang?"
Satria mendekat. Buru-buru ia duduk di sebelahku.
"Barusan gue ngejar seseorang. Gue pikir itu elo. Eh, bukan. Bukan gue pikir, tapi memang gue lihat sendiri itu tadi elo, Jati," kata Satria serius.
Sisa kantukku hilang seketika. Mataku ikut terbelalak mendengar cerita Satria.
"Seriusan, lo Sat?"
"Sumpah. Tadi habis subuh gue kan ketiduran di ruang salat. Waktu bangun, gue langsung ke luar. Olah raga sebentar. Waktu gue lagi lari-lari kecil di jalan depan, lu muncul. Sama, lagi lari juga. Gue tanya 'dari mana lo?' eh, nggak dijawab. Elo, mmm... maksud gue, orang yang gue pikir itu elo, malah ngeliatin gue. Eh, emang sih dia kayak yang heran gitu. Trus dia langsung aja pergi. Gue kejar sambil gue panggil-panggil, malah semakin cepat dia lari."
Aku termangu. Ini aneh. Tidak masuk akal. Kalau bukan Satria yang mengatakannya, pasti aku tidak akan percaya begitu saja. Aku jadi teringat bagaimana ekspresi si mamang penjaga saat pertama kali melihatku malam tadi.
"Gue jadi penasaran?"
"Maksud lo?"
"Gue pengen tau, siapa orang itu," kataku. "Kita selidiki yuk!" seruku penuh semangat.
"Caranya?"
"Kita jalan ke arah sana. Ke arah orang itu tadi pergi." Aku mengajukan usul. Satria setuju.
Tak lama kami pun sudah berjalan menyusuri jalan desa di depan rumah menuju ke arah atas. Arah yang tadi dituju pemuda yang Satria bilang mirip denganku.
Matahari meninggi. Kabut sebaliknya, semakin tipis seiring cahaya matahari yang bersinar hangat menyentuh kulit. Udara sejuk, dan butiran embun masih menyisa di ujung-ujung helai dedaunan.