"Ya?"
Lelaki yang berdiri di ambang pintu masih menatap lekat ke arahku. Begitupun sebaliknya. Tatap mata kami bertemu. Aku melihat, ada tanya di sana. Mungkin di kepalanya pun tersimpan juga pertanyaan-pertanyaan yang sama seperti yang berjejalan di kepalaku.
Melihatnya, aku seperti melihat diriku sendiri di dalam cermin. Bukan main! Bagaimana mungkin kami bisa memiliki wajah semirip ini? Bentuk mata yang agak sipit, itu bentuk mataku, alis tebal, hidung, mulut, semua sama, seperti milikku. Bahkan warna kulit kami pun sama. Hanya saja dia terlihat lebih muda. Berapa usianya? Tujuh belas? Atau delapan belas? Dia mungkin masih SMA.
Kurasakan sodokan siku Satria di pinggangku. Aku tersadar dari pikiran-pikiranku. Lalu maju beberapa langkah.
"Betul ini kediaman Pak Samiadji?" Aku bertanya. Pemuda itu mengangguk. Masih menatapku lekat. Hei, kau juga heran ya? Atau kau sudah menduga siapa aku?
"Ada perlu apa?" Dia bertanya.
"Bisa aku bertemu?" tanyaku. Sesaat kulihat dia bimbang, tetapi kemudian mengangguk.
"Duduk dulu," katanya menunjuk kursi di teras rumah, "akan aku panggilkan." Lalu dia menghilang ke balik pintu.
"Gila," desis Satria. "Lo sama dia udah kayak pinang dibelah dua. Persis banget."
"Gue lebih senior dari dia." Aku mencoba bercanda. Namun malah getir yang terasa. Aku rasa aku tahu siapa dia.
"Yaaa, iya sih. Dia mengingatkan gue sama elo saat sekolah dulu, tapi—"
Pintu terbuka lagi. Membuat Satria urung menyelesaikan kalimatnya. Satu sosok yang sangat kukenal berdiri di sana. Dia terlihat sangat terkejut melihat keberadaanku dan Satria. Tak lama seorang perempuan cantik—kutaksir usianya lebih muda beberapa tahun dari Bunda—keluar. Juga ada keterkejutan yang nyata di raut wajahnya saat melihatku.
"Jati?" sosok yang kukenal bersuara. Agak terbata. Tiba-tiba saja kurasakan emosiku memuncak melihatnya berdiri di sana.
"Hallo, Beh!" kataku. Suaraku bergetar menahan gejolak di dada. Aku berdehem. Mencoba meredakan semuanya. "Lama nggak ketemu, ya?" kataku sinis.
*** *** ***
Akhirnya aku tahu, mengapa Babeh dan Bunda bisa bertengkar begitu hebat hari itu. Aku juga akhirnya tahu, mengapa selama ini Babeh jarang sekali di rumah. Sama sekali bukan masalah kerja seperti yang selalu ia katakan pada kami. Ia hanya... membagi waktu dengan keluarganya yang lain. Iya, istrinya yang cantik itu, juga anak muda yang kutemui tempo hari. Itu anaknya. Anak semata wayang Babeh dari istrinya itu. By the way, nama anak itu Jaka. Aku tahu saat kudengar ia memanggilnya dengan nama itu.
Ternyata Bunda sudah lebih dulu mengetahui kebenaran itu dari seorang temannya. Makanya, Bunda ke Bogor saat itu, untuk membuktikan semuanya. Tak dapat kubayangkan bagaimana hancurnya hati Bunda, ketika di sana kenyataan pahit hadir di depan mata. Setelah tahu, ia malah memilih bungkam. Sama sekali tidak menceritakannya pada kami, anak-anaknya. Rasa kecewa itu ditanggungnya sendiri.
Ah, Bunda!
Babeh sialan!
Seenaknya saja dia berbuat begitu pada Bunda. Seenaknya saja dia menghancurkan hati Bunda, membuatnya terluka. Luka hati yang menurutku akan sulit mengobatinya. Padahal Bunda wanita penyabar dan setia. Keluarga besar Babeh juga sama-sama sialannya. Selama ini mereka sudah tahu, tetapi memilih bungkam dan tetap merahasiakannya dari kami. Huh!