"Gue nebeng," kata Satria. Ia mengikutiku keluar dari studio yang berada di lantai atas rumah Ogay. Aku mengangguk.
Lalu lintas malam itu cukup lancar. Tidak ada kemacetan parah yang menghambat di jalan. Setengah jam kemudian kami tiba di depan rumah Satria. Dia segera turun. Rumahnya masih terang. Dari dalam terdengar sayup suara televisi, juga obrolan beberapa orang. Lalu diselang suara tawa berderai.
Rumah yang hangat.
Segera kutepis setitik rasa yang diam-diam menyelusup perlahan ke dalam hatiku. Yeah, kalau boleh jujur aku iri dengan suasana rumah yang seperti itu. Dulu, dulu sekali, ketika negara api belum menyerang, keluargaku juga pernah seperti itu. Dulu. Sampai aku sendiri lupa bagaimana rasanya. Sebab yang sering terjadi adalah rumah yang lengang. Masing-masinng penghuni rumah sibuk dengan kegiatannya sendiri. Bunda dengan rutinitas hariannya. Aku yang lebih sering keluyuran, dan Kak Jenar yang lebih sering menghabiskan waktu di dalam kamar. Untungnya masih ada si bawel Jeihan, yang jika kupikir-pikir lagi sekarang, keusilan dan kecerewetannyalah yang selama ini menyemarakan suasana lengang di rumah kami.
"Gue langsung balik, ya," kataku.
"Nggak mampir dulu? Masih sore loh. Udah lama juga lo nggak ke sini, sampai-sampai nyokap sering banget nanyain, 'kemana itu si Jati, gak pernah muncul?' gue bilang lo sok sibuk banget sekarang."
"Ha-ha-ha. Salam aja dah sama nyokap lo. Lebaran nanti gue main. Mau minta rendang. Ha-ha-ha!"
"Yaelah, mau main aja pake nunggu lebaran dulu. Ya udahlah, nanti gue bilangin ke nyokap. Salam juga buat Bunda. Eh, betewe, Bunda baik-baik aja 'kan, setelah .... " Satria tidak menyelesaikan kalimatnya.
"Ya, Bunda baik. Kami semua baik-baik aja."
Duh, kalau mengingat lagi masalah itu sebenarnya aku selalu saja terbawa emosi. Rasanya ingin sekali nonjok orang. Ha-ha-ha.
"Sukurlah kalau baik. Lo juga, baek-baek. Jangan lagi ikut-ikutan kayak si Bedul," pesan satria.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Yah, sebenarnya sih aku justru kasihan pada Bedul. Menurutku, banyak faktor yang pada akhirnyan menyebabkan dia jadi seperti sekarang ini.
"Mudah-mudahan nggak ya. Udah ah, gue balik. Kenapa juga kita malah ngobrol aja ini?" kataku pada Satria.
"Lah, kan gue bilang juga ayo masuk dulu. Ngobrol-ngobrol, ngopi-ngopi, kangen-kangenan sama nyokap gue."
"Ha-ha-ha, kapan-kapan ajalah. Udah, gue cabut dulu!"
"Okay! Hati-hati lu, Bro."
*** *** ***
Pagi tadi Monic menelpon. Aku dimintanya datang untuk berbuka puasa bersama di rumahnya sore ini. Maka di sinilah aku saat ini. Berdiri di depan pintu rumahnya dengan gamang. Entah kenapa keringat di tubuhku tiba-tiba saja bercucuran. Kutarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum mulai menekan tombol bel di pintu.