Aku merebahkan diri ke atas kasur. Membayangkan kembali pertemuanku dengan keluarga Monic tadi. Secara keseluruhan, pertemuan tadi cukup menyenangkan. Mudah-mudahan pada kunjunganku ke depannya, sudah bisa memenangkan hati papanya juga.
Baru saja kuraih ponsel untuk mengabari Monic kalau aku sudah di rumah, saat suara raungan sepeda motor memekakkan telinga terdengar. Motor itu sepertinya berhenti sebentar di depan, lalu melesat lagi. Kemudian terdengar suara gerbang depan digeser. Siapa yang datang?
Aku mengintip dari balik gorden jendela kamar. Seseorang sedang berjalan cepat melintasi halaman. Kupicingkan mataku untuk menajamkan pengelihatan. Siapa dia?
Kak Jenar?
Iya, itu Kak Jenar. Dia berjalan cepat sambil menundukkan kepalanya. Sinar lampu menerangi wajahnya dengan jelas saat dia menginjakan kaki di teras rumah. Hei, kenapa raut wajah Kak Jenar seperti itu? Apakah dia menangis?
Aku bergegas ke pintu. Membukanya lalu keluar.
"Kak!" seruku.
Kak Jenar yang baru saja akan membuka pintu ruang tamu menoleh, tapi dia diam saja. Benar, ada bekas-bekas sembab di mata Kak Jenar. Kenapa dia? Menyadari kalau aku mengamatinya, Kak Jenar malah kembali memalingkan wajahnya dan bergegas masuk. Aku setengah berlari mengejarnya. Kuikuti dia.
"Kak, tunggu!" kataku. Kak Jenar tidak memedulikanku. Tiba di depan kamarnya, dia segera masuk dan menutup pintunya kembali. Aku berusaha untuk masuk, tetapi pintunya terkunci. "Kak, buka pintunya, Kak!" seruku. Tak ada sahutan. Pintu kamarnya tetap terkunci.
"Jati?"
Aku menoleh. Bunda melongok di pintu kamarnya. Masih menggunakan mukena. Wajahnya terlihat bertanya-tanya.
"Ya, Bun."
"Ada apa?"
"Tidak apa-apa. Ini Jati mau tanya sesuatu sama Kak Jenar."
"Memangnya Jenar sudah pulang?"
"Sudah. Barusan, tapi sepertinya Kakak lagi nggak mau diganggu. He-he-he... " Akhirnya aku berjalan menjauhi kamar Kak Jenar.
*** *** ***
Saat sahur, Kak Jenar juga tidak muncul. Jeihan yang diminta oleh Bunda untuk membangunkannya kembali sambil mengangkat bahu.
"Kak Jenar nggak sahur," katanya.
"Kenapa dia?"
"Katanya sih lagi halangan."
"Halangan? Bukannya minggu lalu sudah?" Bunda bergumam heran. Jeihan lagi-lagi mengedikkan bahunya. Ia tidak tahu. Aku semakin penasaran jadinya. Ada apa dengan Kak Jenar? Pasti ada yang dia sembunyikan.
Namun rasa penasaran ini kusimpan saja dalam hati. Aku tak mau melibatkan Bunda. Nanti Bunda malah khawatir. Kasihan Bunda. Sisa permasalahannya dengan Babeh saja masih sering membuatnya melamun sedih. Apalagi jika dibebani permasalahan-permasalahan lain.
Pucuk dicinta ulam tiba.