Rengkuh

Lily N. D. Madjid
Chapter #18

Bab 18 Pukulan Telak

Menghabiskan waktu lebih dari dua minggu di rumah sakit sungguh tidak mengenakkan. Apalagi biasanya aku menjalani hari-hari dengan berbagai aktivitas di luar. Terkurung di ruangan seperti ini membuatku sangat bosan.

Akan tetapi mau bagaimana lagi? Dokter belum memberi izin untuk pulang. Beberapa tulang rusukku retak. Tangan kiri patah di dua tempat. Hari ini seluruh hasil pemeriksaan katanya akan ke luar. Mudah-mudahan saja tidak ada organ dalam yang kena. Jadi aku bisa segera pulang dan melanjutkan masa pemulihan di rumah saja. Kasihan Bunda yang bersikukuh menemani aku di sini setiap hari.

Padahal sudah kukatakan pada Bunda agar ia pulang. Aku tak perlu ditunggu. Ada perawat yang bisa kumintai pertolongan jika aku memerlukan sesuatu. Namun Bunda bersikeras untuk tinggal. Katanya, untuk bergerak saja aku sudah kepayahan, bagaimana mungkin ia tega meninggalkan aku sendirian.

Ah, Bunda.

Melihatnya jadi repot begini sungguh aku menyesal. Menyesal karena membiarkan diriku menjadi bulan-bulanan Arai. Andai saja aku lebih hati-hati saat itu. Lalu, apakah aku tidak menyesal telah menantang dia duel kemarin?

Jujur saja tidak. Tujuanku adalah membela Kak Jenar. Jika aku diam saja saat Arai memperlakukan Kak Jenar seperti itu, tentu dia malah akan semakin merasa berkuasa atas diri kakakku, bukan? Jadi, aku sungguh tidak menyesal. Jika pada akhirnya aku jadi bulan-bulanan Arai, itu adalah resiko yang harus kuterima.

Beberapa petugas dari kepolisian sempat datang mengunjungiku beberapa waktu lalu. Mungkin mereka ingin mengorek keterangan terkait kasusku dan Arai. Waktu itu keadaanku masih parah, dokter tidak mengijinkan aku menjalani pemeriksaan karena menurut mereka itu akan sangat menguras energiku. Kulihat Kak Jenar yang menemui mereka ditemani Satria yang waktu itu datang menjenguk.

Dalam hati, sebenarnya aku sudah berlapang dada. Aku benar-benar sudah bersiap sedia, jika nanti aku dinyatakan bersalah. Aku sadar, akulah yang pertama kali menyerang Arai pada kejadian di pasar saat itu.

Namun, ada hal yang mengejutkan. Beberapa hari kemudian Satria bercerita, kalau saat dimintai keterangan, Kak Jenar malah membelaku habis-habisan. Dia bahkan mengatakan pada pihak kepolisian, bahwa alasan aku melakukan semua itu karena Arai telah terlebih dahulu melakukan tindak kekerasan padanya. Pemeriksaan pun berkembang. Kak Jenar, juga Arai, harus memberikan keterangan lebih lanjut di kantor polisi.

"Sepertinya, kasus perjudian itu juga akan ikut terungkap," kata Satria.

"Darimana lo tahu?" tanyaku sambil memperbaiki posisi dudukku. Melihatku agak kesulitan, Satria ikut membantu.

"Gue kan nganterin Kak Jenar waktu itu. Kasihan kakak lo, kayaknya dia agak tertekan dengan semua ini, makanya gue minta izin untuk mendampingi waktu dia masuk ke ruang pemeriksaan, eh nggak diizinkan. Tapi, kalau nyimak dari cerita kak Jenar, sepertinya pertanyaan-pertanyaan yang diajukan saat itu ada yang sudah mulai mengarah ke keterlibatan si Arai dalam kegiatan perjudian. Bagus sih kalau begitu. Biar segera ditindak sama aparat. Sudah banyak orang-orang mengeluhkan perjudian di dekat terminal bus antar kota itu."

"Yah, apa pun keputusannya nanti, mudah-mudahan itu yang terbaik. Juga buat gue. Dan tetap, kalau pun nanti akhirnya gue dinyatakan bersalah karena udah memancing keributan, gue bakal terima." kataku.

"Yeah kita berharap yang terbaik aja, jati.. Walau pun gue sendiri sebenarnya nggak setuju kalau lo juga ditahan nanti. Eh, bedewei, Bunda tahu nggak masalah lo ini?"

"Nggak. Kak Jenar bilang, Bunda tahunya gue diserang orang di pasar. Lo jangan bilang-bilang juga, Sat. Kasihan Bunda, nanti makin banyak pikiran."

"Nggak akan lah. Gue juga berpikir begitu. Soal Kak Jenar ikut diperiksa kemarin, menurut gue juga sebaiknya Bunda gak usah tahu." katanya. Aku mengangguk.

"Omong-omong latihan gimana?"

"Mmmm ...." Kulihat Satria ragu-ragu untuk menjawab.

"Terkendala, ya?" tanyaku, "sorry, gara-gara gue--"

"Bukan gara-gara elo." Satria memotong ucapanku. "Anak-anak nggak masalah dengan ketidakhadiran lo. Mereka semua maklum. Lagian Ogay bisa ngakalinnya. Justru si Bedul yang bikin kita-kita kesal. Ogay malah kayaknya bete banget menghadapi si Bedul ...."

"Bedul? Emang kenapa lagi dia?"

"Dia nggak mau nerima masukan dari kita-kita untuk berhenti, mmm… lo tau kan? Dan dia menganggap syarat Om Rudy itu sebagai bentuk 'ngatur-ngatur hidup orang'. Trus dia bilang, katanya dia mendingan keluar daripada kita ikut mendikte hidup dia,"

"Ya ampun! Kok si Bedul mikirnya begitu sih?"

Lihat selengkapnya