"Jati? Loh, Bun, Jati kenapa?"
Kak Jenar yang baru saja masuk terlihat terheran-heran. Bunda mengelus-elus tanganku.
"Jati ...." panggil Bunda lembut. Tawaku reda. Ada yang terasa perih di dadaku. Apa betul yang dikatakan Monic barusan? Apa dia serius?
"Jen, ajak Jati ngobrol. Bunda ke luar sebentar." Bunda menyuruh Kak Jenar duduk di dekatku sementara ia sendiri ke luar dari ruangan. Entah akan ke mana. Kak Jenar menurut, walau bisa dilihat wajahnya masih saja menunjukkan keheranan.
"Jati? Kamu kenapa?"
Aku menatap wajah Kak Jenar sejenak. Aku jadi teringat saat Kak Jenar tiba-tiba saja ingin putus dengan tunangannya, Bang Rifqi. Sekarang, aku mengalami hal yang sama, walaupun posisinya terbalik. Tanpa ada badai masalah, tiba-tiba saja Monic menginginkan hal yang sama seperti yang diinginkan Kak Jenar dulu. Putus.
"Kenapa cinta bisa begitu rumit?" tanyaku. Dahi Kak Jenar berkerut.
"Maksud kamu?"
Aku diam. Entahlah, rasanya sulit menjelaskan apa yang aku rasakan saat ini.
"Monic minta kami putus," kataku pada akhirnya.
"Monic?"
"Pacar Jati, Kak."
"Ooo ...." Kak Jenar mengangguk berkali-kali, seolah-olah dia sudah paham kini. "Jadi, kenapa Monicmu itu minta putus?"
"Entahlah, Kak. Saat terakhir bertemu, kami baik-baik saja. Tiba-tiba tadi dia menelpon, katanya kami harus putus. Alasannya, Papanya melihatku waktu kejadian di pasar."
"Ya, ampun!"
"Apakah yang Jati lakukan adalah sebuah kesalahan fatal, Kak?" tanyaku. Kak Jenar lama terdiam. Namun, setelah beberapa saat kemudian dia menarik napas panjang.
"Bagaimana, ya? Hmmm, kebanyakan orang tidak tahu duduk permasalahan yang membuat kamu menyerang Arai waktu itu. Orang-orang hanya tahu kamulah yang pertama kali memicu keributan. Nah, papanya pacarmu itu termasuk yang tidak tahu, di matanya ya kamu salah."
Begitukah?
"Kakak rasa kamu masih punya kesempatan untuk memperbaiki keadaan." Tiba-tiba Kak Jenar terlihat bersemangat.
"Bagaimana caranya?"
"Jelaskan pada mereka."