Ramadhan sudah memasuki penghujungnya. Harapan setiap muslim pasti ingin melalui Ramadhan kali ini dengan lebih baik. Meningkatkan kualitas ibadah, hingga ketika Ramadhan usai, bisa bertransformasi menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Seperti ulat yang bermetamorfosis menjadi makhluk cantik bernama kupu-kupu.
Begitu pun aku. Aku juga memiliki niat yang sama. Memiliki keinginan untuk berubah. Namun, setelah merefleksi diri, kulihat aku masih saja di sini. Pada level yang sama dengan sebelumnya. Aku jalan di tempat. Tak ada sedikit pun kemajuan. Baik dari segi kualitas maupun kuantitas ibadahku. Itu membuat satu lagi lubang kekecewaan menganga di dada.
Berbeda dengan Bunda, yang kuperhatikan semakin hari semakin terlihat religius. Bunda gigih sekali belajar. Mengikuti kajian-kajian di masjid dekat rumah, maupun melalui kanal-kanal dakwah di youtube. Kualitas ibadahnya pun semakin bertambah. Mungkin semua permasalahan yang ia hadapi selama inilah yang membuatnya memilih untuk semakin mendekatkan diri padaNya.
Kadang itu membuatku malu. Padahal aku jauh lebih muda. Kesempatanku lebih terbuka. Tenaga yang kumiliki untuk melakukan kegiatan ibadah pun sebenarnya jauh lebih besar dibanding orang-orang seusia Bunda.
Sekarang, saat rasa malu itu semakin besar, dan aku ingin sekali berubah, keadaan memaksaku sebaliknya. Jangankan untuk beribadah lebih giat, untuk bergerak saja aku masih harus berhati-hati. Retak di tulang iga, masih menyisakan rasa ngilu yang menusuk. Juga tangan kiriku, masih menggantung pasif di sisi tubuh tanpa aku bisa menggerakkannya.
Kemarin-kemarin, seperti yang sudah kuceritakan, aku merasa berada dalam atitik terendah kehidupanku. Aku marasa gagal. Aku merasa marah namun tak berdaya. Aku merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Aku merasa tak berharga, pada akhirnya.
Untunglah dukungan Bunda juga Sahabatku Satria bisa membuatku berpikir lebih jernih. Kini aku mencoba menerima semua yang kualami dengan lapang dada. Aku tahu, mencoba untuk menerima semua itu bukan hal yang mudah. Namun, aku berharap ini semua dapat menjadi awal bagiku, untuk dapat menjadi lebih baik. Seperti yang dulu selalu aku inginkan, saat Ramadhan belum dimulai.
*** *** ***
Aku sedang berkutat dengan buku catatanku ketika suara notifikasi berdenting dari telpon genggamku. Kuletakkan balpoin dan buku catatan lalu menyambar ponsel yang tergeletak di atas kasur. Satu surel masuk ke kotak penerimaan pos elektronik milikku. Dari siapa?
Segera kuketuk penanda surat masuk. Ternyata dari kantor. Ada apa ya? Kubuka surel tersebut. Mataku terbelalak membaca pesan yang disampaikan di dalamnya. Di sana tertulis bahwa, karena kondisiku saat ini, Bosku di kantor mengambil kebijakan melakukan pemutusan hubungan kerja dengan pihakku. Dengan kata lain, aku di-PHK. Mereka juga memberi tahu akan mentransfer sejumlah uang sebagai pesangon untukku.
Ya Tuhanku, apa lagi ini?
Mengapa masalah demi masalah selalu saja menghampiriku? Tak bisakah membiarkan aku tenang dulu barang sebentar saja? Biarkan aku menarik napas panjang sebelum menghadapi ujian berikutnya.
Si Bos juga, kebijakan apa pula yang dia ambil ini? Kenapa pemberitahuan pemutusan hubungan kerja hanya disampaikan dengan cara seperti ini? Juga begitu tiba-tiba dan tak ada pemberitahuan sebelumnya?
Oke, aku akui, sudah hampir tiga minggu aku tidak melaksanakan tuga-tugasku. Akan tetapi itu bukan mauku, 'kan? Apakah untuk kasus seperti ini juga tidak ada toleransi? Lagi pula mengapa mereka tidak mengabari langsung kepadaku alih-alih melalui pos elektronik seperti ini?
Kubuka fitur telepon. Kutekan sebaris nomor. Aku harus bicara dengan Pak Bos. Nada hubung terdengar. Aku menunggu dengan tak sabar. Tiba-tiba saja hubungan terhenti. Kuulangi panggilan. Kali ini malah tak bisa terhubung. Ada pemberitahuan dari operator kalau nomor yang kuhubungi sedang sibuk. Kumatikan sambungan.
Ganti kuhubungi nomor kantor. Sekretaris yang mengangkatnya.