Gema takbir menyambut datangnya hari kemenangan masih terus berkumandang. Tak terputus. Sambung menyambung, bersahut-sahutan dari pengeras suara masjid-masjid, juga langgar di sekitar rumah. Semakin malam malah semakin meriah, ditingkahi suara-suara pukulan bedug yang bertalu-talu.
Tak seperti tahun-tahun sebelumnya yang selalu kuhabiskan bersama teman-teman, malam takbir kali ini kulewati dengan duduk menekur sendiri di dalam kamar. Menyimak gema suara yang kudengar. Menghayati setiap lantunannya dengan penuh kekhusukan. Entah mengapa, takbir kali ini rasanya begitu berbeda. Alunan yang bersahut-sahutan itu seolah lebih menggetarkan. Berkali-kali aku merasa seperti ada yang mengelus lembut jantungku. Menyelusup perlahan. Membuatnya terus menerus bergetar.
Padahal sebelum-sebelumnya, aku tak pernah merasakan seperti ini. Bagiku dan teman-teman dulu, malam takbir adalah malam kami menyambut kebebasan. Sebab esok, tak lagi harus menahan lapar. Dan untuk datangnya sebuah kebebasan, tentu saja perlu dirayakan.
Kami selalu ikut dalam konvoi pawai takbir di jalan. Lebur dalam kemacetan. Menikmati gelegar mercon dan kembang api yang meledak di langit malam. Bergembira tanpa pernah mencoba memaknai lebih dalam momen-momen itu. Lalu pulang menjelang pagi, membawa penat dan kantuk ke rumah, kemudian melemparkan diri ke dalam pelukan mimpi.
Ya.
Seperti itulah.
Dan selalu seperti itu.
Dan kini, dalam kesendirian di kamar ini, aku baru menyadari. Betapa sia-sianya waktu-waktuku itu. Sebab sekarang aku sadar, betapa aku tak mendapatkan apa pun di setiap penghujung Ramadhan yang pernah kulalui.
***
TOK! TOK! TOK!
Ketukan keras di pintu kamar membuatku terlonjak. Aku seperti tersentak. Segera kulipat sajadah dan bergegas ke arah pintu. Belum sempat kuraih, daun pintu yang kokoh itu sudah terbuka. Bunda berdiri di sana dengan raut wajah yang tidak setenang biasa.
“Jati!” Suara Bunda kudengar bergetar.
“Ya, Bun?”
Belum sempat Bunda menyahut, suara Kak Jenar yang tengah berdebat dengan seseorang mengalihkan perhatianku dari Bunda. Di teras sana kulihat Kak Jenar sedang berbantah-bantahan dengan dua orang yang tak kukenal.
Ada apa ini?
Bunda menahanku saat akan menghampiri mereka. Namun, tidak kuhiraukan. Kulepaskan perlahan ke dua tangan Bunda yang memegang erat lenganku.
“Jati, tidak usah—” cegah Bunda.
“Kak, ada apa?”