“Jadi, apa motif Anda saat menyerang korban?”
“Tidak ada, Pak.”
“Tidak ada?”
“Tidak ada.”
“Maksud Anda, Anda menyerang korban begitu saja saat Anda melihat dia di pasar?”
“Tentu saja tidak.”
“Lalu?”
“Saya ….”
***
“Waktu Anda tidak lebih dari sepuluh menit. Pergunakan dengan baik.”
Aku mengangguk lalu menggumamkan terima kasih. Petugas itu meninggalkan aku sendiri di ruang kecil itu. Pintu ditutup dari luar, tetapi tidak terlalu rapat. Aku masih bisa melihat petugas itu berdiri di sana. Sejenak aku berpikir. Siapa yang akan kuhubungi. Rasanya tidak tega jika harus menyampaikan kabar ini kepada Bunda atau Kak Jenar. Ya, setelah melewati waktu berjam-jam untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh petugas, ternyata statusku meningkat dari saksi menjadi tersangka.
Seperti yang sudah kukatakan pada Kak Jenar, dan Bunda sebelumnya, aku sudah pasrah. Aku tahu kesalahanku. Dan aku bersedia mempertanggungjawabkannya. Hanya saja, tetap … rasanya terlalu berat untuk menyampaikan kabar ini pada mereka berdua.
Babeh?
Tidak.
Aku tidak akan menghubunginya.
Jam di dinding terus berputar jarumnya. Menimbulkan suara berdetik di ruang kecil yang lengang ini. Aku tak punya banyak waktu. Akhirnya kutekan sederet angka yang sudah kuhapal, sambil menempelkan gagang telepon di telinga kiri. Suara nada sambung terdengar berdengung di pendengaranku.
"Hallo, Assalamualaikum.” Satu suara serak menyapa saat pada akhirnya panggilanku terhubung. Aku melirik ke arah jam di dinding. Sudah menjelang subuh.