Bagi pejuang skripsi berada di kampus bisa menjadi rutinitas agar segera tuntas dalam studi. Tidak terkecuali Arkan Navin Atmajaya. Pemuda yang menginjak usia dua puluh dua tahun. Iris mata hitam dengan tatapan teduh menawan itu memandang ke sekitar untuk menemukan seseorang.
Sesekali ia memperlihatkan lesung pipi di sebelah kirinya kepada mahasiswi yang menyapanya. Senyum tercetak jelas di bibirnya dengan hidung mancung serta rahang kokoh membingkai wajah seorang Arkan. Meski di balik senyuman itu ia menyimpan banyak keresahan.
Sembari menunggu dosennya, jemarinya membuka halaman media sosial. Mengamati beranda itu. Sekadar mengisi waktu, tetapi yang didapatinya mampu membuat wajahnya membeku.
Udara secara mendadak seakan raib dari jangkauan helaan napasnya. Dia merasakan sesak di dada. Jantungnya terasa diremas oleh sesuatu secara membabi buta.
Pemuda bernama Arkan itu memandang nanar sebuah gambar pada ponselnya. Memperlihatkan dua sejoli tersenyum bahagia seusai mengikrarkan janji untuk saling memiliki.
Dia meneliti ekspresi seorang wanita yang bahkan tanpa sepatah kata, mengakhiri pertunangan di antara mereka dengan cara menikahi lelaki lain seperti ini.
Arkan memaki berulang kali dalam hati. Ia bahkan hampir melupakan niatannya untuk meminta tanda tangan dosen pembimbing, pada lembar pengesahan skripsi miliknya yang sudah dicetak rapi.
Satu minggu lalu Arkan sama sekali tak percaya dan bahkan mengira, jika gambar yang kini ada di hadapannya pastilah hasil rekayasa. Benar, ada yang sengaja membuat lelucon dengannya. Arkan merasa lega dengan penghiburan semacam itu untuk dirinya sendiri.
Dia sungguh percaya kepada Arra sepenuhnya, sebelum detik ini tiba. Fakta yang amat mencabik hatinya.
Jadi inilah alasan Arra tidak pernah membalas pesannya? Mengabaikan panggilannya, meski seberapa pun banyak yang dia coba? Seharusnya Arkan sadar dengan sikap yang seakan mengonfirmasikan, kabar simpang siur itu menjadi sebuah kebenaran.
Bahwa tak lebih berartinya Arkan dari seorang yang asing. Hingga mempertegas penghianatan itu dengan Arra menggunggah bukti keseriusan pernikahan mereka pada laman media sosialnya.
Arkan tersenyum masam mengingat kebodohannya. Senyum menyelinap luka yang sampai pada kedua mata itu berkaca-kaca. “Kau benar-benar melakukannya dengan sempurna, Arra...” ucapnya menyedihkan. Tatapannya menyimpan luka dan kebencian.
Betapa ia dengan keras menyangkal kebenarannya beberapa hari belakangan ini. Tak seorang pun ia percaya. Tak terkecuali kakaknya, Neira. Ketika orang terdekatnya, semua mengatakan yang berbanding terbalik dengan keyakinannya.
Padahal setelah urusannya ini usai ia berniat ke luar kota mendatangi rumah Arra. Mengonfirmasi segala omong kosong yang beredar luas. Meski sambungan telepon dan pesannya tidak ditanggapi, tetapi Arkan masih mencoba berpikir positif atas segala kemungkinan.
Ia justru mengkhawatirkan jika Arra tidak baik-baik saja. Lihatlah pemikiran untuk tetap percaya kepada Arra diganjar dengan fakta yang mencabik kewarasannya.
Ia mengusap cepat kedua matanya yang memerah oleh basah sekaligus amarah. Ia berhenti merutuki kesialannya, ketika ekor matanya melihat seseorang yang ditunggunya telah tiba. Arkan berdiri dari duduknya dan segera melangkah mengejarnya yang masuk ke gedung tempat ruangan sang dosen berada.