Terik siang di musim gersang itu begitu lugu. Tanpa pelindung teduh dari panas di atas kepalanya, seakan membakar otak yang terjerat carut marut kehidupannya. Renjana masih menjejakkan kaki di antara jalanan aspal yang kian menyambut rasa letihnya.
Tentu bukan menjadi rahasia jika harga kos di dekat kampus mampu membuat isi dompet pupus. Ia memilih kos yang ramah terhadap uangnya. Meski diakhir bulan sering kali diniati dengan berjalan kaki seperti ini.
Ia biasa membutuhkan waktu kurang lebih lima belas menit untuk pulang dari kampus menuju kos miliknya.
Gadis itu bernama lengkap Renjana Keila. Bungsu dari dua bersaudara yang memasuki pertengahan perkuliahan di semester lima.
Ia mengambil jurusan psikologi, karena jerih payahnya dalam belajar sehingga mendapatkan beasiswa pada salah satu universitas ternama di Yogyakarta.
Dia bukanlah gadis dari keluarga berada. Untuk memenuhi kehidupan sehari – hari ia perlu bekerja paruh waktu. Meski kakak perempuannya melarangnya agar ia fokus saja pada pendidikannya. Namun, bukan renjana jika tidak keras kepala ketika sudah bertekad.
Uang bulanan yang dikirimkan sang kakak untuk kebutuhan, ia tabung sebagian. Jika sesekali tabungannya berlebih ia akan mengirimkan uang kembali untuk kakaknya.
Mereka akan beradu argumen untuk masalah ini, tetapi rasa saling mencintai dan melindungi terhadap satu-satunya saudara kandung tak pernah membuat hubungan mereka patah.
Sejak kecelakaan yang merenggut orangtua mereka dua tahun lalu, mereka semakin mengerti arti memiliki, arti peduli dan arti saling mengasihi satu sama lain.
Dahulu hidup mereka serba berkecukupan, meski tidak bisa dikatakan dari keluarga kaya raya. Hidup mereka terasa lengkap dan bahagia.
Ketika mengingat hal itu Ana, nama panggilan akrab Renjana, gadis itu merasa pedih. Ia mengerjapkan mata untuk menghalau embun yang menjelma di ruang pandangnya.
Tanpa disadari olehnya dari arah belakang sebuah mobil melaju ke arahnya.
Brakkk!
Tubuh belakangnya terasa terbentur benda keras, sebelum terjerembap pada aspal. Sesaat ia merasakan pusing dan nyeri pada beberapa bagian tubuhnya, sebelum semua cahaya raib dari ruang mata berganti gelap. Hitam pekat.
*****
Arkan merasa sakit di kepala setelah terbentur pada kemudi. Lantas tubuhnya menegang ketika mengingat seorang yang tertabrak oleh sisi kiri mobilnya. Dia segera menyapukan pandangan, mencari keberadaannya. Di sisi kiri bahu jalan terlihat kerumunan.
“Celaka! Bagaimana kondisinya?” Arkan bergumam disergap kepanikan. Ia segera membuka pintu mobil untuk keluar. Tak mempedulikan kesakitannya.
Arkan tergopoh, setengah berlari mendatangi korban yang sudah dikerumuni beberapa orang yang melintasi jalanan itu.
“Kau punya mata atau tidak? Hah!” ucapan sarkastis itu diterimanya dari seorang laki-laki dewasa. Disusul makian dari pemuda yang menatap nyalang ke arahnya.
Arkan terus mendekat lalu bersuara “Maafkan, saya. Tolong saat ini keselamatannya—” ucapannya tercekat ditenggorokan begitu ia mendapat celah untuk melihat kondisi korban yang telah dipangku seorang wanita tua.
“Darah?” suaranya bergetar. Ucapan pelannya mungkin hanya mampu didengar oleh telinganya. Ia tak mempedulikan makian di sekitar. Ia berjongkok lalu jemari tangannya menyergap tubuh itu. Merengkuh dan mengangkatnya dalam ke dua lengan kokohnya.
Jantung Arkan berdetak cepat karena kecemasan disertai ketakutan yang menggelegak di dada. Ditatapnya nanar darah segar yang keluar dari sudut pelipis kiri korban, juga tampak goresan luka di sisi wajahnya. Sementara kepalanya mengenakan kerudung panjang.