"Iya, bun. Lusa aku pasti nyusul bunda, ayah sama teteh ke Bandung," ujar Renjana sembari menggenggam tangan Padma, sang ibunda.
"Janji loh, de. Kamu sudah dua kali enggak ikut merayakan ulang tahun bunda," rajuk Padma sembari menatap anak bungsunya dengan kilat penuh pengharapan dari mata beningnya.
Renjana tersenyum menanggapi rajukan sang ibunda, "Iya bunda, ade pasti nyusul kok."
"Jangan ikut demo, ya de!" titah Padma yang lagi-lagi menatap anak bungsunya dengan kilat mata yang khawatir.
Renjana kembali tersenyum sembari menatap sang ibunda, "Kalau ade enggak ikut menegakkan keadilan, terus siapa yang mau bersuara bunda?" tanya Renjana.
"Ade cuma mau keadilan untuk rakyat kecil, bun. Mungkin, saat ini kita masih bisa makan, masih bisa hidup layak. Tapi, diluar sana banyak yang enggak bisa bun. Ade janji akan hati-hati dan menjauhi bentrokan. Bunda tenang aja," ujar Renjana yang semakin mengeratkan genggaman tangannya.
Padma, wanita itu hanya bisa menatap anak bungsunya dengan kilat yang khawatir. Tak dapat di pungkiri, perasaannya kini tak tenang melepas anak bungsunya yang akan ikut turun ke jalan. Menuntut Reformasi politik, ekonomi, perlindungan dan keadilan bagi seluruh rakyat, menuntut kebebasan pers, perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), dan pengunduran diri Presiden Soeharto. Padma yakin jika hal itu tidak akan mudah dan tidak menutup kemungkinan untuk adanya bentrokan yang tak terhindari.
Wanita itu juga sudah meminta Renjana untuk tidak ikut. Namun, anak bungsunya itu bersikeras untuk ikut andil menegakan keadilan. Tidak hanya Padma, Ikram saja tidak berhasil membuat anak bungsunya untuk tidak pergi. Begitupun dengan Sabitah, sang kekasih. Gadis cantik yang kini tengah mengampu pendidikan di salah satu Universitas Negeri di Kota Bandung itu juga tidak membuat seorang Renjana meninggalkan medan perangnya.