Renjana

Mardhatillah
Chapter #2

Eps - 1: Memori dan perasaan

Udara pagi di pedesaan memang sedikit berbeda dari perkotaan. Kicauan burung yang sangat ramai, namun asing di telinga. 

Dan kini, seorang gadis bersurai hitam dan tak luput dengan netra cokelat sedang menerawang jauh dari jendela kamarnya. Tak ada ekspresi yang terukir di raut wajahnya yang ayu. Kesedihan terpapar jelas dari seorang gadis bernama Jana.

Tuuk..

Pintu pembatas kamar tempat di mana Jana berada kini terbuka.

“Jan, kamu sudah siap-siap?” tanya seorang gadis dari balik pintu. Dia adalah Suci. Teman karib Jana.

Jana yang mendapati suara sahabatnya itu kini menoleh. Memberhentikan aktifitasnya yang tengah menatap mentari yang baru saja menampakkan diri. “Belum, aku baru saja mau mandi,” jawabnya dengan seuntai senyum samar.

Suci yang mendapati jawaban dari sahabatnya tersenyum balik. “Bergegaslah, Jan. Kita akan mengunjunginya hari ini. Kurasa dia tidak mau melihatmu dengan wajah kusut seperti itu,” timbal Suci.

Jana hanya mengangguk, kini gadis itu melangkah menuju kamar mandi kamarnya. Begitupun dengan Suci. Ia berlalu keluar untuk bersiap-siap.

***

Jana sudah siap dengan gaun setengah lutut berwarna hitam miliknya. Rambutnya yang panjang ia ikat agar tak mengganggu saat perjalanannya mengendarai motor. Tak lupa, ia membawa buket bunga melati yang ia beli di kota kabupaten kemarin. Beberapa saat kemudian, Suci keluar dengan pakaian yang senada dengan dirinya. 

“Sudah siap?” tanya Jana. 

Suci mengangguk pelan, kemudian dirangkulnya tangan sahabatnya itu. “Ayo kita pergi, kurasa dia sudah lama menunggumu.” 

Jana dan Suci berlalu pergi menggunakan sepeda motor. Perjalanan menuju desa tetangga akan memakan waktu setidaknya sepuluh menit. Dan selama itu pula, Jana tak banyak berbicara. Matanya menatap kosong jalanan yang mereka lalui.

Suci yang melihat raut wajah Jana dari kaca spion hanya menghela napas. Ia merasa sangat sedih dengan raut Jana yang selalu tampak lesu.

Setibanya di tempat tujuan mereka, Suci memarkirkan motor di sebuah rumah di pinggir sebuah lapangan yang sangat luas.

Jana turun terlebih dahulu. Ia berjalan perlahan, menatap hamparan luas rumput-rumput yang ada di hadapannya. 

Beberapa saat setelahnya, seuntai senyum kecut terukir di bibir ranum Jana. “Ini sangat membuatku sakit, Ci,” ucapnya lirih. Matanya kini tampak berkaca-kaca. Menyadari hal itu, Suci bergegas menenangkan sahabatnya. 

“Tahan, Jan. Kamu tidak boleh lemah, ayo kita jalan!” Suci menuntun Jana keluar dari pekarangan rumah tempat mereka memarkirkan motor. Kini mereka tengah menyebrangi lapangan rumput yang luas. Di sana ada beberapa warga desa. Mereka menatap Jana dan Suci yang sedang berlalu berdua di tengah lapangan.

Hingga pada saatnya, Jana dan Suci memberhentikan langkah mereka. Di seberang lapangan yang mereka lalui, bertahtalah sebuah papan kayu bertuliskan ‘Rianda’ bin ‘Sukarto’ dengan gundukan tanah yang masih basah.

Seketika tubuh Jana bergetar hebat. Kini ia melepaskan tangan Suci yang merangkulnya sedari tadi. Perlahan ia mencoba mendekati gundukan tanah yang ada di depannya. 

Pertahanan Jana pun runtuh. Kini air matanya mengalir deras saat tubuhnya bersimpuh di depan nisan. Suci yang melihat sahabatnya itu kini hanya bisa menahan isakan tangis dengan telapak tangannya.

“Rian? Kamu dengar aku? Aku rindu kamu!” kini tangis Jana begitu pecah. Hatinya terasa sangat sakit. Pipinya yang putih, serta gaun yang dikenakannya kini sudah ternoda oleh tanah pemakaman.

“Rian, kamu bilang kamu kuat. Kamu bilang kamu bahagia. Jangan buat aku merasakan hal sesakit ini, kembalilah!” racau Jana yang terdengar memilukan bagi Suci.

Jana tak hentinya menangis, tak tahan menghadapi kenyataan yang ada. Suci segera memeluk erat. Kedua gadis itu kini menangis bersamaan. “Jan, hentikan! Jangan seperti ini,” ucap Suci di sela tangisannya. 

Jana masih belum berhenti, ia masih meracau hal-hal aneh yang membuat Suci semakin teriris. “Jana, lihat aku!” Suci meletakkan telapak tangannya di kedua sisi pipi tirus sahabatnya. Kini kedua netra mereka bertemu.

“Kau harus kuat, ini pilihan Rian. Kau harus mendoakannya. Dan satu hal lagi, jangan menyesali apa pun, aku mohon,” Suci berkata pelan. Dan tampak kini Jana mulai tenang. 

Lihat selengkapnya