Majapahit, 1257 Saka
Maharaja Hayam Wuruk sekali lagi mendesah ketika meletakkan lukisan di tangannya ke meja samping. Ini sudah lukisan kedua puluh dan ia masih saja tak memiliki ketertarikan pada gadis di setiap lukisan tersebut. Sekilas, ia bisa mendengar desahan kecewa bergema pelan dari sisi kiri dan kanannya, tempat para bangsawan dan para petinggi istana duduk. Namun, ia tak terlalu mempedulikannya. Jauh dalam hatinya, ia juga memiliki kegelisahan yang sama dengan semua orang itu, tapi perkara hati siapa yang bisa memaksa?
Hayam Wuruk menghela napas--lagi--melihat segunung tumpukan kain yang masih terlipat di meja samping. Seandainya saja waktu ini tidak ia pakai untuk melihat tumpukan lukisan, maka ia pasti sudah terlibat pembicaraan seru dengan Mahapatihnya, Gajah Mada, tentang ekspedisi selanjutnya yang akan pria itu lakukan, atau ia mungkin bisa menggunakan waktu ini untuk meninjau kembali proyek pembangunan jembatan di Sungai Brantas, agar ia bisa memiliki waktu tidur yang cukup malam ini.
Sayangnya, ia masih terjebak di sini. Setidaknya untuk menenangkan keresahan hati para bangsawan dan meredam pergolakan di benak para pejabat istana karena belum adanya penerus Majapahit.
“Apa masih tidak ada juga, Gusti Prabu?” Gajah Mada bertanya dengan nada pelan.
“Tidak ada, Paman Mahapatih. Aku bahkan ragu aku bisa menemukan satu," jawab Hayam Wuruk tanpa menutup-nutupi kenyataan.
Gajah Mada hanya tersenyum maklum, ia tetap duduk dengan tenang di samping Sang Maharaja. Namun selain dia, tampaknya tak ada yang memiliki ketenangan. Semua orang terlihat resah ketika lagi-lagi Hayam Wuruk melemparkan kain yang hanya ia tatap sebentar, ke lantai. Gajah Mada tentu tahu, semua orang ini selalu saja merendahkan kemampuan Hayam Wuruk. Termasuk dalam hal memilih permaisuri ini.
Memang, Hayam Wuruk masih terbilang sangat muda untuk meneruskan tampuk kekuasaan dan memerintah kerajaan besar seperti Majapahit. Setelah Tribhuwana Wijayatunggadewi atau Dyah Gitarja, sang pemimpin wanita pertama Majapahit, lebih memilih hidup sederhana dan mengabdikan hidupnya pada ketenangan jiwa dalam sebuah kuil, Hayam Wuruk harus meneruskan takhta sesuai garis keturunan yang ditakdirkan padanya. Pada saat ia resmi dinobatkan sebagai seorang Maharaja, ia masih berusia enam belas tahun. Semua orang tampak menatapnya dengan tatapan sangsi juga penuh ketidakyakinan, hanya Gajah Mada yang tak pernah meragu sedikitpun pada kemampuan anak itu.
Gajah Mada yakin, anak itu sudah diberkati oleh Sang Hyang Widhi sebagai utusan terpilih yang akan melanjutkan kejayaan Majapahit dari tangan ibunya. Bahkan di hari kelahirannya saja, alam telah memberi petunjuk bahwa dia akan menjadi pemimpin yang hebat di masa depan.
Pada hari kelahiran Maharaja Hayam Wuruk itu, terjadi letusan di Gunung Kelud, kemudian disusul dengan gempa bumi di Panbanyu. Seakan seluruh alam bergetar akan kehadirannya di Tanah Jawa. Di hari sakral itu pula, Gajah Mada memilih untuk mengikrarkan sumpahnya di hadapan sang Maharani Tribhuana Wijayatunggadewi, sumpah Amukti Palapa yang hingga kini masih ia genggam erat. Seperti ia terpukau akan kelahiran anak itu, seperti itu pula hatinya berpegang teguh bahwa anak itu akan mampu ia bawa ke puncak kejayaan Majapahit, ia yakin anak itu akan mampu mewujudkan keinginan yang telah ia idamkan sejak ia masih prajurit rendahan, yakni kejayaan Majapahit.
Selama bertahun-tahun, Gajah Mada mengajari Hayam Wuruk segalanya dengan sabar. Mulai dari anak kecil yang masih haus akan segala pengetahuan tentang dunia hingga menjadi pemuda yang bisa diandalkan sebagai raja yang bijak lagi berkuasa. Gajah Mada selalu mendampingi Maharaja Majapahit tersebut. Jika dulu, sejumlah orang diam-diam meragu pada kemampuan seorang anak yang baru saja menginjak usia remaja dalam mengendalikan seluruh negara Majapahit, kini tak seorangpun berani meragukan kepemimpinan raja yang bergelar Sri Rajasanagara tersebut. Kejayaan terbesar Majapahit saat ini ada di bawah kepemimpinannya.
Sekarang, Hayam Wuruk telah menginjak usia dua puluh satu tahun. Sudah saatnya untuknya berbagi beban kerajaan dengan seorang lain. Jika Hayam Wuruk harus mengurus seluruh hal yang ada di Kerajaan Majapahit, maka harus ada yang bisa membantunya mengurus istana. Sudah saatnya memberi negara ini seorang permaisuri, juga keturunan untuk penerus Majapahit selanjutnya. Seorang putra ataupun putri yang memiliki darah Hayam Wuruk dalam tubuh mereka. Agar masa depan Majapahit bisa terjamin.
Selama beberapa waktu terakhir, Gajah Mada bisa melihat sendiri betapa jenuhnya sang maharaja ketika di akhir pertemuan rutin, para pejabat istana selalu menyinggung soal permaisuri maupun penerus untuk Majapahit. Hal itu biasanya hanya disenyumi oleh Hayam Wuruk dan dilengkapi dengan perkataan, “Wahai mantri-ku yang bijak, aku sungguh terharu akan perhatianmu. Namun, sungguhlah permasalahan permaisuri ini adalah permasalahan pelik yang tidak bisa diputuskan sepihak olehku. Permaisuri akan menjadi wanita yang berdiri di sampingku, juga ibu dari bangsa ini. Memilihnya tentu harus melewati serangkaian seleksi. Jadi, aku tidak akan bisa memberikan jawaban tentang kapan persisnya Majapahit akan memiliki Permaisuri.”
Hingga akhirnya, karena lelah akan pertanyaan tersebut, Maharaja Hayam Wuruk akhirnya memutuskan untuk mengadakan sayembara mencari permaisuri. Bagi para bangsawan Majapahit ataupun luar Majapahit dipersilahkan mengirim lukisan putri mereka ke istana untuk dilihat sang Maharaja. Sejak saat itu pula, para pengawal istana selalu membawa setumpuk lukisan wanita untuk dilihat oleh Hayam Wuruk. Dan itu mulai menjadi kegiatan harian Hayam Wuruk di setiap pertemuan, memeriksa lukisan setiap gadis yang akan ia pertimbangkan untuk menjadi permaisuri.
Namun, tampaknya ‘seleksi’ yang dilakukan oleh sang maharaja ini benar-benar ketat. Sudah ratusan lukisan wanita dikirimkan ke kerajaan, mulai dari putri bangsawan hingga putri dari negara taklukan Majapahit, tetap tak ada satupun yang menggugah hati sang maharaja tersebut.
“Gusti Prabu, tidakkah ada barang satu atau dua yang menarik perhatian Gusti Prabu?” Raja Kahuripan bertanya dengan nada penuh harap. Ia meraih salah satu lukisan yang tergeletak di kaki sang Maharaja kemudian membukanya kembali dan menunjukkannya dengan senyum lebar ke hadapan Hayam Wuruk. “Lihat ini Gusti Prabu, tidakkah menurut anda dia sangat cantik? Lihat bagaimana kerlingan matanya yang tak lain secerah sinar bintang, juga kelembutan yang tersimpan di balik senyum mempesonanya ini. Hamba yakin, dia bisa menjadi penghibur terbaik bagi Gusti Prabu dikala Gusti Prabu mengalami kegundahan.”
Hayam Wuruk melihat lukisan itu sekilas kemudian dengan mudah berpaling, “Dia cantik itu memang benar. Namun, dia tidaklah menggugah hatiku.”
Hayam Wuruk kembali menunduk untuk melihat lukisan lainnya yang diangsurkan ke singgasananya. Menatapnya dengan seksama kemudian menggeser lukisan itu ke samping.