Kerajaan Sunda, 1257 Saka
Dyah Pitaloka Citraresmi namanya. Dia adalah putri tertua dari pasangan Prabu Linggabuana dan Permaisuri Dewi Lara Linsing. Ia merupakan satu-satunya Putri di Kerajaan Sunda. Semua orang menghormatinya karena statusnya, dan semua lelaki diam-diam mendambanya karena kecantikan parasnya.
Dyah Pitaloka laksana seorang bidadari--begitu semua orang di Sunda Galuh menggambarkannya. Dengan kedua mata bulat yang tampak bisa menggambarkan seluruh suasana hatinya, alis yang melengkung rapi di atas kelopak mata, rambut hitam legam yang lembut, pipi berisi yang mengembang ketika dia tersenyum, kulit kuning langsat yang sangat mulus, payudara kencang yang biasanya hanya tertutup kemben tanpa bisa disembunyikan betapa sempurnanya bentuk bulatannya, tubuh molek yang sempurna dan senyum yang mampu membuat siapapun tergila-gila. Semua orang di Sunda Galuh akan selalu merasa jatuh cinta setiap kali melihatnya keluar dari keraton dan berjalan-jalan di alun-alun yang penuh dengan orang dari berbagai kalangan. Tak akan ada mata yang mampu menurunkan pandangan dari kecantikan rupanya.
Sayangnya--atau untungnya?--Dyah Pitaloka terlahir sebagai orang dengan kedudukan yang sangat tinggi. Jadi tak peduli seberapa banyak atau seberapa besar harapan para lelaki Sunda mempersunting Dyah Pitaloka, semua itu hanya akan menjadi bunga tidur yang hancur ketika mereka bangun. Para lelaki biasa segera menelan impian memiliki gadis berparas bidadari itu begitu melihat betapa banyak dayang dan pengawal yang mengiring langkahnya setiap kali ia melangkah keluar keraton. Mereka saja tak mampu menjadi jongos dengan pekerjaan terendah di istana, bagaimana bisa mengharapkan seorang Putri yang hidupnya sejak lahir sudah dihiasi berbagai kenyamanan duniawi?
Para bangsawan Sunda pun tampaknya juga tak mampu menghadapi kenyataan betapa tinggi kedudukan Dyah Pitaloka dibanding mereka. Dia adalah putri kandung sang Prabu dan Permaisuri, bahkan mereka saja harus menunduk hormat jika bertemu dengannya, bagaimana mengharapkan gadis seperti itu akan mampu ditaklukan di bawah kungkungan mereka dalam pergulatan ranjang atau bahkan diperintah layaknya status istri pada umumnya? Hidup mereka akan menjadi taruhan jika sampai membuat putri kesayangan Sunda itu terluka. Jadi mereka juga tak berani melewati batas untuk memberikan lamaran ke Prabu Linggabuana.
Meski begitu, Dyah Pitaloka sendiri nampaknya tak menyadari seberapa sering dirinya singgah di pikiran maupun di mimpi terliar para lelaki di negerinya. Ia saat ini tengah asyik menikmati waktu bersama para dayangnya di taman istana keputrian, mengumpulkan berbagai bebungaan yang akan ia kenakan di rambutnya nanti. Sama sekali tak menyadari bahwa gambaran dirinya tengah bermain dalam bayangan terliar para pemuda.
"Gusti Putri! Gusti Putri!" Seorang dayang yang bertugas menjaga kamar Dyah Pitaloka mendadak melangkah cepat di taman keputrian. Suaranya yang lantang membuat segala tawa maupun aktivitas yang dilakukan Sang Putri dan para dayang terhenti.
"Ada apa?" tanya Dyah Pitaloka seraya berbalik memandangnya.
"Gusti Putri, Gusti Prabu meminta anda datang ke aula istana."
Dyah Pitaloka mengernyit, "Mengapa Rama memintaku ke sana?"
"Mohon maaf, Putri. Gusti Prabu juga tidak mengatakan alasannya."
Meski benaknya masih diliputi kebingungan, Dyah Pitaloka hanya bisa mengangguk. Ia lalu menatap sejumlah dayangnya dan berkata, "Bantu aku bersiap."
*
Seusai berganti pakaian dan memperbaiki penampilannya, Dyah Pitaloka berjalan dengan anggunnya memasuki Bale Panglawungan, aula istana Kerajaan Sunda. Ia mengernyit heran ketika mengamati seluruh tempat itu, yang anehnya, tampak sunyi. Tak ada bunyi gamelan ataupun suara-suara dari pejabat istana. Padahal, biasanya aula istana itu selalu dipenuhi keramaian, entah keramaian dari gamelan dan tari-tarian yang memeriahkan hari atau keramaian yang tercipta dari perdebatan panjang para pejabat istana.
Hari ini hanya ada sang raja yang duduk di singgasananya. Prabu Linggabuana, Raja Sunda Galuh itu tampak kesepian karena hanya ditemani oleh para pengawal dan pelayan yang berdiri tak bergerak ataupun bicara, layaknya patung.
Secarik senyum manis terkembang di bibir Dyah Pitaloka begitu langkahnya telah mencapai tujuan. Ia segera membungkuk hormat di depan singgasana sang ayah. Ia baru berani bangun ketika melihat tangan ayahnya memberikan tanda untuk bangkit.
"Ada apa gerangan hingga rama memanggil ananda kemari?" tanya Dyah Pitaloka dengan nada lembutnya yang menyejukkan.
Prabu Linggabuana menghela napas, "Ada beberapa hal yang menggangguku saat ini, Putriku."
"Jika Rama memanggil ananda kemari, alih-alih membahasnya dengan ibu atau pamanda, ananda yakin itu adalah sesuatu yang bisa ananda bantu." Dyah Pitaloka tersenyum. "Katakanlah, Rama."
"Putriku, apa engkau ingat pada Sungging Prabangkara yang melukismu beberapa hari lalu?"
Alis Dyah Pitaloka mengernyit. Dalam beberapa hari ini ia telah banyak dilukis oleh sejumlah pelukis utusan dari berbagai negeri. Benaknya tak bisa mengingat yang mana Sungging Prabangkara yang dimaksud ayahnya itu.
Melihat raut wajah Dyah Pitaloka yang tampaknya tak mengingat siapa orang yang disebutkan, Prabu Linggabuana segera menambahkan, "Pelukis utusan Majapahit."
Begitu mendengar kata 'Majapahit', Dyah Pitaloka segera tersenyum. Ia ingat pelukis itu. Pelukis handal yang setiap gores dan warna yang ia ditumpahkan di atas kain bagai mengandung sihir. Dyah Pitaloka tak henti-henti terpesona pada kepiawaian tangan pelukis Majapahit itu, dan ia lebih tak bisa berhenti kagum pada hasilnya. Seandainya saja pria itu bukan pelukis utusan Majapahit, maka ia sudah pasti akan meminta pelukis itu untuk menjadi pelukis pribadinya.
Ah, mengapa seluruh semesta seakan selalu memberi keberuntungan pada Kerajaan Majapahit? Mereka memiliki Gajah Mada, pemimpin kemiliteran yang membuat pasukan militer mereka ditakuti seluruh Nusantara. Mereka memiliki Laksamana Nala, armada kapal perang terhebat yang membuat kapal musuh tenggelam sebelum berhasil melewati sungai perbatasan. Mereka memiliki Hayam Wuruk, raja muda yang begitu cerdas hingga seluruh negeri mendapatkan kemakmuran yang merata. Lalu, Sungging Prabangkara, pelukis yang begitu ia kagumi hasil kerjanya juga berasal dari tanah Wilwatika itu. Apakah Sang Hyang Widhi sedang dalam perjamuan penuh kegembiraan ketika menggariskan takdir untuk kerajaan satu itu sehingga seluruh keberkahan seakan hanya dilimpahkan pada kerajaan raksasa itu tersebut?