RENJANA

Nadia N
Chapter #3

#3 : Lamaran Dari Majapahit

Wangi melati tercium dari depan pintu aula istana, bunyi gamelan yang ditabuh lembut seakan mengiringi langkah Dyah Pitaloka memasuki tempat yang sekarang tampak ramai itu. Aula istana utama, Bale Panglawungan, tampak lebih hidup hari ini. Dyah Pitaloka tersenyum lembut ketika melangkah memasuki aula istana itu dan kemudian bersimpuh, tepat di bawah kursi singgasana berlapis emas milik ayahnya. 

Di tengah-tengah aula, tampak tari-tarian masih disuguhkan oleh para penari yang acap kali mengisi acara resmi kerajaan. Lenggak-lenggok pinggul para penari tampak menyihir pandangan semua orang di ruangan itu. Penari yang memang telah terkenal akan penampilannya yang selalu menyihir itu, kini membuktikan dirinya dalam menyedot perhatian semua mata yang memandang. Hanya Dyah Pitaloka, satu-satunya orang yang tak terlalu tertarik dengan penampilan itu. Matanya lebih tertarik untuk menjelajah dimana gerangan para utusan Majapahit itu berada. Dan tampaknya ia juga tak perlu waktu lama, hanya dalam sekilas pandang ia sudah bisa menemukan seorang utusan Majapahit yang duduk tepat di deretan samping kiri ayahnya.

Pria itu tampak sangat asing ketika berada di sekumpulan pejabat yang Dyah Pitaloka kenal sejak kecil. Dia adalah seorang pria yang paling tidak berusia empat puluhan, memakai jarik mahal yang hanya ada di Wilwatika, kedua lengannya dicapit gelang emas yang tampak berkilauan, beberapa jari di tangannya di balut dengan sejumlah cincin dengan mata batu giok. Tampaknya pria itu menjadi bukti nyata akan segala kabar burung yang Dyah Pitaloka dengar, bahwa Wilwatika adalah negara yang memiliki permata berlimpah. Ia masih memandangi pria itu hingga tarian berakhir dan dengan cepat ia menarik pandangannya juga.

Para penari segera menyingkir dan membuat bagian tengah aula itu menjadi kosong. Prabu Linggabuana segera berdiri untuk mengisi kekosongan itu, ia dengan senyum lebar menyambut tamunya yang segera disapa balik oleh sang tamu dengan hormat yang takzim.

"Perkenalkan Patih Madhu, ini adalah putriku, juga putri seluruh rakyat Sunda, Dyah Pitaloka Citraresmi." Maharaja Linggabuana memperkenalkan Dyah Pitaloka begitu penghormatan singkat itu selesai. "Dan putriku, perkenalkan dia adalah utusan dari Wilwatika. Ki Patih Madhu."

Dyah Pitaloka berdiri lalu menangkupkan tangan di depan dada dan menundukkan kepalanya sedikit seraya tersenyum sopan pada pria itu.

Patih Madhu seketika terpesona. Matanya berkedip-kedip memastikan wanita di depannya adalah nyata, bukan khayalan indah tentang seorang bidadari atau tipuan pikiran belaka. Namun, tidak peduli berapa kali pun matanya menutup atau membuka, keindahan Dyah Pitaloka tetap seagung ketika pertama kali ia melihatnya. 

Dalam sejarah Wilwatika sendiri, terkenal seorang wanita yang dulu merupakan permaisuri Kerajaan Singasari. Ia adalah Ken Dedes, wanita yang kecantikan dan "rahasia"-nya telah menyebabkan pertumpahan darah selama beberapa keturunan. Patih Madhu selama ini hanya bisa mengira-ngira kecantikan seperti apa yang bisa dimiliki seorang wanita hingga bisa menjadi alasan kejatuhan suatu negara. Namun sekarang, setelah bertemu tatap dengan Putri Dyah Pitaloka, ia akhirnya mengerti bagaimana sebuah kecantikan bisa menyebabkan keruntuhan suatu negara. Pantas saja, Tunggul Ametung rela dikutuk hanya untuk menculik Ken Dedes dan pantas pula Ken Arok rela membunuh seorang Maharaja hanya agar bisa memperistri Ken Dedes. Sungguhlah, pujangga yang membuat Serat Pararaton tidak berlebihan. Sebab jika kecantikan seperti ini nyata, maka semua orang akan rela melakukan apapun hanya untuk mendapatkan satu tatapan darinya.

"Salam dari kami, Gusti Putri." Patih Madhu menunduk sopan. "Saya Patih Madhu, utusan dari Kerajaan Majapahit."

"Ah, selamat datang kalau begitu saya ucapkan. Saya harap anda disambut dengan baik di Kawali." Dyah Pitaloka menyahut dengan suara dan senyum lembutnya.

"Tentu, tentu Tuan Putri. Saya disambut dengan sangat baik di sini." Patih Madhu mengangguk penuh hormat.

"Nah, Ki Patih, karena semua hadirin telah berhadir di istana ini, maka saya rasa sudah waktunya anda mengutarakan alasan kedatangan anda ke Kawali." Prabu Linggabuana berseru dari singgasananya.

Patih Madhu mengangguk, ia segera berdiri dan membuka kain putih dengan pita emas yang sejak tadi dipegangnya. Setelah seluruh gulungan itu luruh, Patih Madhu berseru dengan suara yang cukup lantang hingga seluruh hadirin di Bale Panglawungan bisa mendengarnya.

"Bre Prabhu ayun ing putri ring Sunda. Patih Madhu ingutus angundangeng wong Sunda...." 

(Sri Prabu (Hayam Wuruk) ingin memperistri putri dari Sunda. (Saya) Patih Madhu diutus (untuk) mengundang orang Sunda." 

Wajah Dyah Pitaloka seakan terbakar mendengar itu, ia segera menundukkan kepala, takut-takut itu dianggap tidak sopan. Sementara ayahnya hanya mengangguk penuh wibawa.

"Seperti yang anda tahu, Gusti Prabu. Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda adalah kerabat dekat yang tak bisa dipisahkan." Patih Madhu melanjutkan perkataannya. "Jika kita menelisik sejarah kembali, maka kita akan menemukan tokoh-tokoh Kerajaan Majapahit yang selalu terhubung dengan Kerajaan Sunda. Seperti Rakryan Jayadarma, Pangeran Negeri Galuh yang menikahi Dyah Lembu Tal, Putri Singhasari. Dari pernikahan itu, mereka diberkahi seorang putra yakni Raden Wijaya. Putra mereka, Raden Wijaya tak lain dan tak bukan adalah sang pendiri Majapahit, Prabu Kertarajasa Jayawardhana. Karena itulah, junjungan kami, Maharaja Sri Rajasanagara bermaksud mempererat kembali hubungan dua kerajaan ini dengan sebuah tali perkawinan. 

Selain itu, pernikahan ini juga akan memberikan berkah yang besar karena perniagaan Kerajaan Sunda akan semakin terbantu dengan diangkatnya Tuan Putri sebagai Permaisuri Majapahit. Junjungan kami, Maharaja Hayam Wuruk, berjanji akan selalu membantu perniagaan atau urusan apapun yang diperlukan Kerajaan Sunda di masa yang akan datang.

Dan terakhir, selain dari urusan kekerabatan maupun perniagaan. Pernikahan ini murni merupakan keinginan dari Maharaja kami. Karena Maharaja Hayam Wuruk telah memasuki usia menikah dan Majapahit memerlukan permaisuri, maka didatangkanlah ratusan lukisan ke istana. Di antara ratusan lukisan itu, Maharaja Hayam Wuruk hanya memilih Tuan Putri sebagai seorang yang ingin dinikahinya."

Sekali lagi Dyah Pitaloka merasakan hatinya seakan ditabuh oleh genderang tak kasat mata. Ia sampai takut orang-orang ini akan bisa mendengar gemuruh jantungnya, apalagi wajah semerah tomatnya.

"Bagaimana putriku? Apakah engkau setuju diperistri oleh Maharaja Sri Rajasanagara dan menjadi prameswari Majahapahit?" tanya Prabu Linggabuana penuh wibawa, kepada Dyah Pitaloka.

"Inggih Rama, jika itu yang terbaik maka ananda hanya bisa setuju...." Dyah Pitaloka membalas dengan suara lembutnya yang kini diselipi nada malu-malu.

Prabu Linggabuana mengangguk kemudian tatapannya kembali terarah kepada utusan dari Majapahit. "Sesungguhnya Ki Patih, semenjak lamaran pertama datang, saya sudah berdiskusi dengan para petinggi kerajaan. Pada awalnya, kami merasa agak ragu dengan keinginan Maharaja Hayam Wuruk karena lamaran itu hanya dikirim dengan sebuah surat dan beberapa utusan yang bahkan tak memiliki posisi apapun di Kerajaan Majapahit. Namun, dengan kedatangan utusan besar seperti anda, Ki Patih, perihal ini menjadi lebih mudah untuk diputuskan. Setidaknya, Maharaja Hayam Wuruk telah menunjukkan kesungguhannya dalam keinginan mempersunting putri kami, Dyah Pitaloka Citraresmi. 

Lihat selengkapnya