Matahari telah naik setinggi tombak ketika sekelompok anak muda memasuki gerbang besar yang menjadi pintu utama Lambau, tanah luas yang dahulu adalah lahan kampus Akademi Penyuluhan Pertanian. Tampak gedung tua putih tulang berdiri kokoh. Di sepanjang jalan yang membelah halaman depan yang luas, pohon pinang berjajar rapi.
Kedatangan mereka disambut celoteh riang segerombolan burung kacamata yang melintas terbang menuju hutan kecil di belakang gedung tua itu. Anak-anak muda itu berjalan menyeberang halaman. Mereka terus melangkahkan kaki hingga melewati gedung tua. Lalu di tanah yang lapang serupa halaman tak terurus, tepat di bawah pohon beringin besar, mereka berhenti. Ada dua orang telah menunggu. Dengan ramah keduanya menyambut kedatangan mereka.
Seperti diberi aba-aba, mereka duduk serempak membentuk lingkaran. Dua orang yang menunggu itu tampak menonjol. Tak hanya pakaiannya yang khas seorang pegiat alam, namun juga raut wajah yang memancarkan percaya diri berpadu dengan empati yang tinggi. Dua anak muda itu, satu perempuan dan satu laki-laki. Masing-masing membawa ransel besar.
Si perempuan muda, berambut pendek sebatas di bawah telinga dengan model Jimmy Lin, mulai mengeluarkan isi ranselnya. Sepuluh buku tebal keluar dari ransel seolah seperti harta karun keluar dari kotak penyimpanan. Semua mata menatap ke buku-buku tebal itu dengan pandangan yang sulit dijelaskan.
Begitu pula dengan si laki-laki muda, yang rambutnya pun bermodel sama dengan si perempuan muda itu! Satu persatu ia mengeluarkan teropong binokular dari ranselnya. Keduanya menata binokular dan buku-buku tebal itu dengan rapi di tengah-tengah lingkaran. Ransel si laki-laki itu dijadikan alas untuk buku-buku. Sedangkan ransel si perempuan di letakkan di sebelah binokular.
Perempuan itu pun mulai membuka mulutnya.
“Terimakasih telah datang bergabung bersama kami disini untuk birdwatching1.”
Suara alto perempuan itu benar-benar diatur agar cukup terdengar oleh semua yang duduk melingkar.
“ Saya Damayanti koordinator birdwatching pagi ini. Dibantu Wisnu yang nanti akan ikut memandu selama kegiatan.”
Tangan kanannya memberi tanda kepada Wisnu untuk memperkenalkan diri. Wisnu memberi salam dengan senyumnya dan kepala yang setengah menunduk untuk menunjukkan sikap santun.
“Sebelum kita mulai birdwatching, saya jelaskan terlebih dulu tips menggunakan teropong binokular. Hal pertama yang sangat penting adalah mengalungkan tali binokular ke leher. Binokular adalah benda yang rentan. Jika jatuh, maka tamatlah riwayatnya.”
Perempuan itu berhenti sejenak. Wisnu mengulurkan teropong binokular kepadanya. Dengan tenang Damayanti mengalungkan teropong itu.
“Medan di Lambau memang tidak se-ekstrim di hutan belantara. Kita tidak tahu apa yang akan kita lalui selama birdwatching. Banyak kemungkinan. Bisa jadi kita terpeleset karena terlalu asyik mengidentifikasi burung sehingga tidak memperhatikan langkah kaki.”
Keempat belas anak muda itu manggut-manggut. Mata mereka tak lepas dari perempuan itu.
“Teropong ini disebut teropong binokular karena mempunyai dua mata. Maksudnya, teropong ini mempunyai dua lensa okuler. Ini yang dimaksud lensa okuler.” Damayanti menunjukkan dua bagian binokular yang mempunyai diameter lensa lebih kecil.
“ Yang ini, lensa obyektif,” imbuhnya sembari menunjuk ke bagian binokular yang diameter lensanya lebih besar.
“Cikal bakal binokular adalah penemuan teleskop oleh Hans Lippershey. Tahun 1608 kalau tidak salah. Sempat ada perebutan hak paten siapa yang menemukan pertama kali. Nah kawan-kawan, silahkan mengambil binokular. Kita akan bersama-sama mempraktikkan cara menggunakannya.”