Lampu meja terlihat menyala di ruang agak tersembunyi di sudut sebuah ruangan besar yang berada di lantai dua. Seorang laki-laki berwajah sangat tenang sedang membuat pola tas ransel yang dihamparkan di atas meja. Di sampingnya berderet teratur berbagai macam peralatan menjahit. Mulai dari mesin jahit high speed, mesin obras, mesin potong, mesin press, mesin jahit zigzag dan mesin jahit buttonhole. Lalu di belakangnya ada rak yang berisi bermacam jenis bahan-bahan kain, tali temali untuk tas ransel juga aneka aksesoris.
Damayanti melongokkan kepalanya ke dalam ruangan dengan tubuh tetap menempel di pintu.
“Om Anton, tas pesananku sudah jadi belum?” tanyanya setengah manja.
“Hmmm,” sahut laki-laki itu tanpa menoleh.
“Tas untuk Dama sudah jadi belum?!”ulang Damayanti dengan intonasi berubah.
Laki-laki itu terkekeh.
“Tunggu antrean, Dama.”
Damayanti mendengus.
“Padahal Dama sudah pesan dua bulan yang lalu. Antreannya sebanyak apa sih, Om?”
Tiba-tiba ada yang memukul lembut kepala Damayanti dari belakang. Sontak Damayanti memutar badannya. Laki-laki berambut ikal bertubuh sedang dengan wajah jenaka sudah berdiri di hadapannya.
“Ini bocah, sukanya mengganggu orang bekerja. Sudah besar masih saja manja. Kamu ditunggu pak Burhan dan Bu Sindu di ruang bawah. Sana!” kata laki-laki itu seolah hendak memukul lagi dengan gulungan karton yang tadi digunakan memukul kepala Damayanti.
Damayanti meringis.
“Oya, data hasil birdwatching hari minggu kemarin sudah Dama letakkan di mejanya Om Kuncoro.”
“Sip!” Kuncoro mengacungkan ibu jari kanannya.
Damayanti bergegas menuruni tangga menuju ruang bawah. Melewati musala lalu dapur. Baru kemudian ruangan memanjang. Di tengah-tengah ruangan ada meja panjang dan kursi-kursi. Di bagian ujung ruangan dipasang papan tulis besar lengkap dengan spidol-spidol dan penghapusnya.
“Duduk di sebelah sini, Dama.”
Bu Sindu, istri pak Burhan yang juga bersama-sama mengelola lembaga, menyambut ramah. Sedangkan pak Burhan sibuk menulis sesuatu. Dahinya mengernyit.
Sikap Damayanti berubah. Ia cukup tahu diri. Kesopanan, etika selalu diutamakannya pada kondisi tertentu. Ia tak lagi bersikap santai seperti halnya ketika ia bersama dengan Anton dan Kuncoro.
Perlahan Damayanti duduk di kursi yang ditunjuk bu Sindu. Kursi itu berhadapan dengan kursi bu Sindu dan pak Burhan. Rasa gugup menyergap diri Damayanti. Ia merasa seperti seorang pesakitan yang akan disidang oleh dua hakim.
Pak Burhan menghentikan tangannya yang menulis. Senyumnya mengembang melihat Damayanti sudah duduk di hadapannya.
“Saya menerima laporan bahwa hari minggu kemarin kalian diikuti tiga orang mencurigakan. Dama bisa menceritakan kembali kejadian hari itu?”
Damayanti membetulkan letak duduknya. Dengan runut ia pun mulai bercerita. Suasana ruangan bawah itu hening. Suara Damayanti terdengar jelas meski volume suaranya rendah.
“Kebetulan Wisnu sempat memotret mereka. Selesai dari Lambau kami langsung ke studio foto.”
“Fotonya dibawa sekarang?” tanya pak Burhan.
“Fotonya baru selesai cetak pagi ini, pak. Wisnu yang mengambil ke studio. Saya sudah berpesan agar segera diantar kemari,” jawab Damayanti.
“Oh, begitu.”
Pak Burhan mengangguk-angguk.
“Tapi kalian tidak di apa-akan kan?” tanya bu Sindu.
“Alhamdulillah kami semua tetap dalam keadaan aman,” ucap Damayanti dengan wajah tersenyum. Ia ingin menunjukkan bahwa semuanya baik-baik saja.