Azan zuhur berkumandang dari masjid yang terletak di sebelah barat kantor Wildlife Freedom Fighter. “Hanya berjarak lima puluh langkah kaki,” begitulah kalimat sakti Kuncoro ketika ia mengajak Wisnu untuk salat berjamaah. Kali ini Wisnu menggunakan kalimat sakti yang dulu mempan baginya, untuk mengajak Bima bersama-sama menuju masjid.
“Kamu saja, Wisnu. Aku tidak salat,” ujar Bima.
“Oh, kenapa?”
Tatapan Wisnu yang keheranan membuat Bima menjadi kikuk.
“Eh, aku,” Bima terdiam berpikir mencari jawaban yang tepat.
“Ayo, Wisnu. Sudah iqamah.”
Tiba-tiba Kuncoro muncul dari ruang utama kantor. Dengan sajadahnya, ia menepuk bahu Wisnu lalu berjalan menuju tangga ke lantai satu. Mau tidak mau Wisnu mengikuti Kuncoro meski tanda tanya besar muncul di kepalanya. Baru setelah salat Wisnu mendapatkan jawabannya.
“Kita memang harus saling menasihati dalam kebaikan. Tapi dalam hal akidah jangan sembrono memaksakannya,” kata Kuncoro lambat-lambat. Dirinya berhati-hati mengucapkan kalimat itu.
“Kenapa, pak?” tanya Wisnu. Ada berontak dalam suara Wisnu
Kuncoro tersenyum kecil.
“ Ada yang namanya hidayah. Itu ranah yang tidak akan bisa disentuh oleh kita. Akidah selalu berhubungan dengan hidayah,” jelas Kuncoro.
Wisnu tercenung.
“Kita hanya menyampaikan, Wisnu. Bukan memaksa. Sudah, kita harus kembali. Tadi Bima minta wawancara untuk tugas kampusnya,” tukas Kuncoro yang kemudian bangkit dari duduknya. Ia bergegas keluar masjid. Disusul Wisnu yang menatap punggung Kuncoro penuh rasa kagum
Benar apa yang dikatakan Damayanti kepadanya tentang Kuncoro. Bahkan Damayanti memberi Kuncoro sebutan dengan Paman Embun. Sering kali yang dilontarkan dari mulut Kuncoro akan membuat pendengarnya menjadi tenang dan nyaman. Kuncoro juga kerap menjadi penengah segala macam pertikaian di kantor itu. Pun peredam situasi yang meletup-letup saat pak Burhan murka.
***
Di balkon, Bima duduk ditemani Damayanti. Entah apa yang dibicarakan, mereka tertawa bersama. Melihatnya, Wisnu berlari menaiki tangga hingga menabrak Anton yang akan turun.
“Aduh!” teriak Anton tertahan.
“Maaf, pak Anton. Maafkan saya. Maaf,” kata Wisnu penuh rasa bersalah. Wajah Wisnu bersemu merah dan biru. Tak terkira betapa sungguh malu dirinya.
Anton hanya tersenyum.
“Kamu kenapa, Wisnu? Seperti dikejar ayam,” ucap Anton sambil terus berjalan menuruni tangga.
Wajah Wisnu berubah pucat. Ia melompat dari anak tangga yang ia tapaki menuju balkon. Bukan tanpa alasan Anton mengatakannya. Semua orang di kantor itu tahu bahwa Wisnu takut dengan ayam!
Masih dengan wajah pucat, Wisnu bergerak cepat duduk di kursi tepat di antara Damayanti dan Bima. Mau tak mau Damayanti dan Bima yang sedang saling berhadapan menghentikan pembicaraan mereka.
“Apa, sih?!” protes Damayanti.
“Ada ayam. He-he-he,” sahut Wisnu sekenanya.
Wisnu memasang wajah tak bersalah. Dalam hati ia mengakui bahwa tingkahnya sangat kekanakan. Jengkel benar Damayanti dibuatnya. Tanpa menghiraukan Wisnu, ia beranjak dari kursinya.
“Aku tinggal dulu ya, Bima? Tunggu sebentar akan kupanggilkan pak Kuncoro.”
Bima mengangguk. Namun ternyata Kuncoro sudah berada di ambang pintu.
“Bima, kita berbincang di dalam saja,”ajak Kuncoro.