RENJANA RIMBA

Joen YH
Chapter #4

Antara Kue Kering dan Kapitalisme

Sinar matahari mulai menguning. Bayangan telah menjadi dua kali panjang dari semua benda di bumi arema. Tampak tiga anak muda berjalan beriringan di jalan setapak yang membelah area pemakaman besar. Jalan setapak itu adalah satu-satunya jalan pintas menuju kantor Wildlife Freedom Fighter dari jalan raya. Sebenarnya bisa saja menyusurinya lewat jalan utama. Akan tetapi jarak tempuhnya lebih jauh. Belum lagi ramainya kendaraan. Bagi pejalan kaki tentu hal tersebut akan sangat membuat tidak nyaman.

Damayanti memimpin di depan dengan langkah kakinya yang pendek-pendek namun tegap. Sedangkan Bima berjalan di tengah-tengah. Sesekali pandangannya mengedar melihat sekeliling. Rasanya ganjil berjalan menyusuri permakaman. Di belakangnya Wisnu berjalan pelan. Seluruh tubuhnya tampak dibanjiri keringat. Meski begitu wajahnya memancarkan kegembiraan.

Wisnu tak menyangka Bima bersedia diajak menginap di rumahnya. Ia menawarkan setulus hati karena Bima memang tampak sangat kelelahan. Jikalau pun Bima langsung pulang ke Surabaya sore itu, ia pasti sudah lelap di perjalanan. Sedangkan Damayanti, yang juga ikut ke rumah Wisnu, harus mengambil kue kering pesanan neneknya ke ibu Wisnu. Kue kering itu untuk acara hajatan pernikahan anak pertama Lik Dirman, pekerja di kebun apel nenek Damayanti.

Tepat di jalan raya, mereka bertiga menyeberang untuk menunggu angkutan umum yang rutenya melewati rumah Wisnu. Tak sampai tiga menit angkutan umum berwarna biru yang ditunggu akhirnya muncul. Beruntung, ada tiga kursi yang masih tersisa. Damayanti duduk di kursi paling belakang yang berada di antara kursi-kursi samping. Ia menghadap ke depan terimpit kaki-kaki para penumpang. Sedangkan Wisnu dan Bima duduk di kursi dekat pintu. Dua pemuda ini begitu menikmati sensasi duduk menghadap jalanan. Angin dingin khas bumi arema mulai menyerbu melalui jendela dan pintu angkutan umum itu. Spontan Bima menggigil. 

Sekitar lima belas menit kemudian mereka turun di sebuah SPBU yang tak jauh dari stasiun kota Malang. Lalu ketiganya melangkahkan kaki ke jalan yang lebih kecil tepat di depan SPBU. Di gang kedua mereka membelok. Di sebuah rumah mungil berlantai dua dengan teras kecil, mereka berhenti.

Dari luar tercium aroma kue kering yang dipanggang. Hidung Damayanti kembang kempis mengikuti arah aroma berasal.

“Kuenya bude Riani memang tiada dua,” kata Damayanti.

Tanpa menunggu Wisnu membuka pintu pagar, Damayanti mendahuluinya menyeruak masuk.

“Assalamualaikum bude,” ucapnya menerobos masuk.

Bima terperangah. Ia mematung dan matanya tak lepas dari Damayanti yang kini lenyap ke bagian belakang rumah. Wisnu tertawa kecil.

“Ah, dia memang begitu. Sudah biasa. Ayo masuk, Bima.”

Wisnu membuka pintu depan rumahnya. Suasana hangat sebuah rumah sangat kental di ruang tamu itu. Cat dindingnya kuning muda dengan aksen hijau muda. Kursi tamunya bergaya retro berwarna kuning tua.

“Silahkan duduk, Bim. Aku ke kamar mandi sebentar. Kebelet he-he-he,” ujar Wisnu cepat.

Wisnu memegang perutnya. Kemudian ia lenyap di balik sekesel rotan yang menjadi pemisah ruang tamu dan bagian dalam rumah itu. 

Bima memilih duduk di kursi tunggal yang terletak di bagian ujung rangkaian kursi tamu. Ranselnya diletakkan di lantai. Detik berikutnya ia bangkit. Dirinya tertarik dengan hiasan-hiasan yang dipajang di dinding. Di sana juga ada pigura-pigura berisi foto keluarga Wisnu. Tiba-tiba matanya menangkap sesuatu di salah satu pigura kecil yang terselip di antara yang lain. Ada foto Wisnu dan Damayanti bersama beberapa anak kecil. Mereka memegang spanduk besar bertuliskan “Selamatkan Bumi”. Wajah mereka tampak ceria. 

Dari arah bagian dalam rumah terdengar suara Damayanti dan seorang wanita dewasa sedang berbincang. Suara-suara itu terdengar semakin dekat.

Bima kembali duduk di kursi. Ia pun mengatur duduknya. Lalu Damayanti muncul bersama seorang wanita agak tua. Damayanti membawa sebuah nampan.

“Bude, ini Bima. Dari Surabaya. Dia sekarang jadi sukarelawan seperti Dama dan Wisnu,” kata Damayanti memperkenalkan Bima kepada ibu Wisnu.

Kemudian Damayanti meletakkan nampan yang berisi dua cangkir kopi dan sepiring tempe menjes goreng. Bima bangkit dari duduknya dan segera menyalami ibu Wisnu. Diciumnya tangan ibu Wisnu. Senyum lebar menghiasi wajah wanita itu.

“Ya beginilah rumah Wisnu, nak. Kecil dan sempit. Rumah di kampung ya begini,” ujar ibu Wisnu ramah. Bude Riani, begitu Damayanti memanggilnya, memandangi Bima dari ujung kepala hingga ujung kaki. 

“Nak Bima, ayo dicicipi tempe menjes-nya. Mumpung masih hangat,” imbuhnya.

“Terima kasih Bu. Eh, bude. ” ujar Bima setengah terbata.

Ibu Wisnu tersenyum. Masih dengan pandangan iba bercampur menyelidik, ia berusaha membaca sosok Bima.

 “Wisnu sepertinya di kamar mandi. Dia pasti lama. Nduk, temani nak Bima dulu ya,” kata ibu Wisnu.

“Iya, bude,” jawab Damayanti singkat.

Entah mengapa hatinya tidak suka cara ibu Wisnu memandangi Bima. Lalu wanita itu menghilang ke balik sekesel rotan.

Bima membeku. Dirinya merasa tidak nyaman. Namun kemudian segera ia enyahkan perasaan itu. Ia tidak ingin berburuk sangka.

Lihat selengkapnya