Langit biru.
Benar-benar membiru. Tak ada sedikit pun lukisan warna putih dari sang awan untuk memberi corak kepada langit. Hanya saja, jika dirasakan dengan baik, elusan angin sedikit merayu pagi itu. Damayanti tak menyia-nyiakannya. Ia pun menenggelamkan diri di antara pepohonan apel di kebun milik neneknya. Penuh teliti, Damayanti mulai menelisik pucuk-pucuk dan ranting pohon. Dengan cepat ia menemukan pucuk yang tumbuh di bawah 60 cm. Lalu bergerak lagi. Tangannya cukup gesit ketika memangkas ranting-ranting yang tidak produktif. Seperti itulah yang diajarkan neneknya untuk perawatan pohon apel.
Kebun apel itu membentang seluas tiga hektar di atas tanah yang hampir menyerupai bukit kecil. Kebun yang dikelola sejak kakek buyut Damayanti dan diwariskan turun temurun, berada di dusun kecil pinggiran kota Batu. Dusun Junggo namanya. Di kebun itu hanya ditanami apel Rome Beauty. Rumah yang ditinggali Damayanti bersama neneknya berada di tepi bagian timur kebun apel. Rumah itu bergaya Belanda yang diwariskan dari kakeknya Nenek Damayanti.
Ada dua orang yang membantu pekerjaannya. Sepasang suami istri yang telah bekerja kepada keluarganya sejak Damayanti masih kecil. Mereka adalah pekerja tetap. Pada saat-saat tertentu seperti panen, pemupukan dan pembubuhan, akan ada penambahan pekerja harian.
Tanpa terasa sinar matahari mendekati ubun-ubun. Damayanti mengakhiri pekerjaannya dan bergegas berjalan ke bagian tepi kebun. Wajahnya penuh keringat namun aura puas terlihat jelas.
“Lik Dirman, Lik Warni, istirahat dulu. Sudah hampir zuhur!” teriak Damayanti ke arah ujung kebun.
“Sebentar lagi, Mbak. Nanggung. Mbak Dama pulang saja dulu” balas Lik Dirman.
“Oke.”
Damayanti berjalan cepat menuju bangunan kecil di sisi barat kebun. Bangunan itu berfungsi sebagai tempat penyimpanan peralatan dan perlengkapan berkebun. Dama keluar sambil membawa ransel kecilnya. Tiba-tiba ia berhenti. Kemudian berbelok menuju samping bangunan. Disana terpancang tiang kayu besar setinggi dua meter. Di atasnya ada rumah-rumahan kecil berukuran lima puluh senti meter. Damayanti memeriksa ke dalam rumah-rumahan itu dengan menaiki tong air di sebelah tiang. Senyum lebar menghiasi wajahnya. Biji-bijan yang ia tebarkan di lantai rumah-rumahan itu telah habis.
“Mereka datang”
Batinnya.
Dibantu Lik Dirman, Damayanti sengaja membuat rumah-rumahan kecil itu. Kemudian ia mengisi bagian dalamnya dengan biji-bijian. Damayanti memang berniat mengundang burung-burung singgah ke kebun. Meskipun sebenarnya di sana sudah banyak burung Kutilang. Kadang kala burung Perenjak dan Tekukur juga singgah. Lalu burung-burung Kacamata yang hanya lewat saja. Damayanti ingin sekali mengundang jenis yang lainnya.
Bergegas Damayanti masuk ke dalam bangunan. Kemudian ia kembali menaiki tong untuk meletakkan biji-bijian yang dibawanya.
***
“Nek, tidak mencoba menanam varietas Wanglin? Masih ada sisa lahan kosong di barat kebun kita,” kata Damayanti sambil mencomot tempe mendol dari mangkok lauk.
Di depannya telah siap hidangan makanan siang. Semangkuk besar sayur selada air, sepiring telur dadar, ikan asin dan sambal terasi yang sangat pedas.
Nenek Damayanti diam saja. Ia menata dua piring di meja makan. Lalu duduk di hadapan Damayanti. Lelah membayang di wajahnya.
“Nanti yang mengurus siapa?” ucapnya.
Damayanti menyeringai.
“Kan ada Lik Dirman dan Lik Wanti,” jawab Damayanti datar.
Nenek Damayanti menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kau ini. Bagaimana skripsimu? Jadi kapan sidang?” tanyanya kemudian.
Damayanti meneruskan kunyahan terakhir tempe mendol yang tadi ia comot.
“Bulan depan, nek. Aduh rasanya lama sekali. Dama sudah tidak betah di kampus. Dama benar-benar tidak suka di sana,” omel Damayanti.
“Tidak boleh begitu, Dama. Bagaimanapun kamu juga menimba ilmu di sana,” sergah neneknya.