Bisa jadi karena sejak kecil terbiasa dengan cita rasa Rome beauty, Damayanti tetap memilih Rome beauty ketika disodori apel jenis lainnya. Sebagian orang akan berkata rasanya terlalu asam meskipun sebenarnya ada rasa manis dan segar di dalamnya. Namun Damayanti menyukai cita rasa itu. Cita rasa yang membangkitkan semangatnya. Juga cita rasa yang membuatnya merasa nyaman.
“Cita rasa kampung halaman.”
Begitu kata Damayanti ketika ditanya tentang apel Rome Beauty.
Ia juga hafal betul bagaimana cara merawat pohon apel Rome beauty. Bahkan tahun lalu ia berhasil melakukan okulasi yang kemudian hasilnya ditanam di lahan bagian utara kebun. Patut dibanggakan tatkala seorang cucu pemilik kebun apel telah berhasil melakukan pembibitan sendiri.
Waktu telah menunjukkan pukul dua siang. Langit masih membiru sebiru-birunya. Suhu udara tidak menyengat. Bisa dikatakan suhunya sejuk untuk parameter temperatur tengah hari. Di depan rumah Damayanti tampak ada kesibukan kecil. Dibantu Lik Dirman, Damayanti mengikat keranjang buah yang berisi apel Rome beauty ke sadel sepeda motornya. Sedangkan Lik Warni memasukkan apel ke dalam tas belanja kesukaan Damayanti. Tas berbahan kain kanvas yang dicat sendiri oleh Damayanti.
“Jangan terlalu malam pulangnya. Selesai mengantar segera pulang ya nduk,” ujar nenek Damayanti.
Damayanti mengangguk. Setelah memasang helm yang berwarna hijau asparagus di kepalanya, dengan tergesa ia mencium tangan kanan neneknya. Lalu ia menaiki motornya.
“Mbak Dama, kalau sekiranya pulang selepas magrib, telepon saya saja. Nanti saya jemput di pertigaan gerbang Talun,” usul Lik Dirman.
“Iya, mbak Dama. Nanti biar dijemput saja ya,?” timpal Lik Warni.
“Nanti Dama telepon kalau memang pulang malam. Assalamualaikum!”
Tanpa menunggu lama, Damayanti memacu sepeda motornya.
“Wa ’alaikumsalam.”
Lik Dirman dan Lik Warni saling berpandangan. Lalu keduanya menghela nafas berat bersama-sama.
“Seharusnya kamu saja yang mengantar pak,” protes Lik Warni
“Tadi aku sudah bilang ke mbak Dama. Tapi mbak Dama ndak mau,” elak Lik Dirman.
Nenek Damayanti menggelengkan kepalanya.
“Sudah, biarkan saja. Biarkan Dama melakukannya sendiri. Toh dia sudah bukan remaja lagi,” kata nenek Damayanti.
“Tapi saya ndak tega, Bu. Saya tahu sendiri tadi waktu memilih apel wajahnya tidak seperti biasa. Sedih juga tampak marah. Saya yang ndak tega,” kata Lik Warni cemas. Wajahnya yang bulat segar tampak muram.
Nenek Damayanti hanya tersenyum simpul mendengar perkataan Lik Warni. Tidak ada yang tahu bahwa sebenarnya di dalam hatinya juga diserbu kecemasan yang teramat sangat.
“Sudah, ayo kita bereskan apel lainnya. Nanti sore harus dikirim ke Lawang.”
***
Sepeda motor Honda Prima hitam putih yang dikendarai Damayanti mulai menyusuri jalanan kota Batu menuju arah kota Malang. Laju motornya tidak terlalu kencang. Pikiran si pengendara tengah melayang-layang. Hampir saja ia menabrak bagian belakang angkutan kota yang dari terminal Batu menuju terminal Landungsari. Angkutan kota itu berhenti untuk menurunkan penumpang.
Satu jam kemudian Damayanti tiba di tempat parkir kantor Wildlife Freedom Fighter. Kuncoro yang mengetahui kedatangan Damayanti dari balkon, segera menuruni tangga dengan cepat menuju ruangan terbuka di lantai satu. Ruangan itu berada di bagian barat kantor menghadap jalan kecil, yang biasanya menjadi jalan pintas menuju jalan raya.
Tanpa sepatah kata, Kuncoro membantu menurunkan keranjang yang penuh dengan apel dari sadel motor Damayanti. Lalu meletakkannya di sudut tempat parkir.
“Tadi kamu sendiri yang menaikkan keranjang ini, Dama?” tanya Kuncoro.
“He-he-he tentu tidak. Tadi Lik Dirman yang membantu Dama.”
Damayanti mengambil tas belanja yang digantungkan di bagian depan motornya.
“Itu untuk Bu Sindu juga?”