Damayanti hampir tidak pernah membawa motornya untuk pergi ke kampus. Kecuali di saat-saat penting seperti ujian semester dan jadwal praktikum. Ia lebih memilih naik mobil pikap yang setiap hari lewat di depan rumahnya.
Mobil pikap itu selalu datang sebelum matahari terbit. Lalu menurunkan penumpang-penumpangnya, para pedagang keliling dari kota, di ujung dusun Junggo. Sekitar satu jam kemudian mobil pikap akan kembali ke kota. Pemberhentian terakhirnya adalah sebelum pertigaan terminal Landungsari. Tak hanya Damayanti yang menumpang mobil pikap itu. Tapi juga penduduk dusun lainnya yang akan pergi ke kota Malang. Dari terminal Landungsari, Damayanti akan naik angkutan yang melewati kampusnya.
Pagi itu, diantara hembusan angin yang mampu menusuk tulang, Damayanti duduk di bagian belakang mobil pikap bersama dua wanita setengah baya yang membawa tas jinjing, satu anak remaja laki-laki berseragam sekolah dan dua laki-laki seusia Lik Dirman.
Semula Damayanti tidak begitu memperhatikan obrolan mereka. Namun ketika ada yang menyebut mobil Suzuki Katana Blitz warna putih, Damayanti segera memasang telinganya baik-baik. Rupanya dua laki-laki yang kemarin datang ke rumahnya, juga mendatangi rumah Juragan Tomo. Mereka bermaksud membeli sebagian kebunnya. Dan juragan Tomo memutuskan untuk menjualnya. Juragan Tomo mempunyai kebun apel yang luasnya dua kali lipat kebun apel nenek Damayanti. Ia salah satu orang terkaya di dusun itu.
“Apa kubilang, juragan Tomo pasti menjual kebunnya. Katanya, uangnya untuk membeli rumah di Malang. Juragan Tomo mau buka kos-kosan untuk mahasiswa. Dan katanya lagi, nanti anak laki-lakinya itu yang akan ngurusi kos-kosannya,” ungkap salah satu laki-laki kepada temannya.
“O, begitu.”
Pikiran Damayanti pun mengembara setelah mendengar percakapan itu.
Seandainya saja yang akan membeli lahan bagian barat kebun apelnya nenek Damayanti bukanlah orang-orang dari perusahaan yang mengincar Lambau, Damayanti pasti akan menyetujuinya. Apa mau dikata. Baginya adalah suatu hal yang penting dalam berprinsip untuk tidak berkawan dengan lawan.
Turun dari pikap, Damayanti tak segera naik angkutan yang melewati kampusnya. Ia berdiri mematung menghadap ke timur jalan. Kepalanya mendongak ke atas. Kedua matanya yang memandang jauh ke angkasa, menyipit sedemikian rupa.
“Pernis ptilorhyncus? jam segini?” gumam Damayanti tanpa sadar.
Tampak sekumpulan burung sedang berputar-putar di ketinggian. Burung-burung itu sebenarnya lebih terlihat seperti titik-titik besar yang menggerombol. Namun bagi Damayanti yang matanya telah terlatih, ia tahu bahwa itu bukan titik-titik biasa. Matanya melihat jelas mereka adalah sekumpulan burung-burung yang mempunyai pola warna. Pada ujung kedua sayapnya yang meruncing, tampak lebih gelap daripada bagian lainnya.
Pernis ptilorhyncus yang mempunyai nama Indonesia Sikep Madu Asia adalah salah satu burung pemangsa yang bermigrasi dari bumi belahan utara menuju bumi belahan selatan. Bagi orang-orang seperti Damayanti, burung-burung pemangsa yang bermigrasi itu adalah tamu istimewa. Tamu yang berhasil mengambil hati para manusia-manusia aneh, penggila alam raya yang kurang kerjaan. Begitulah kata manusia-manusia lainnya.
Pernah suatu kali Wisnu bertanya kepada Damayanti apa istimewanya burung-burung pemangsa itu. Menurut Wisnu, mereka melakukan hal bodoh dengan terbang jauh bermil-mil dari tempat asalnya. Resikonya terlalu besar dibandingkan dengan tetap tinggal di habitatnya. Penuh berapi-api ia mengeluarkan isi hatinya.
“Apa mereka tidak berpikir kalau di perjalanan akan bertemu predator segala predator? manusia serakah, maksudku. Belum lagi cuaca yang tidak menentu. Satu lagi, mereka bakal tersesat di perjalanan. Angkasa itu kan luas. Sama seperti samudera yang tidak bisa dijelajahi seluruhnya. Kalau aku jadi mereka, aku pasti lebih memilih tetap tinggal di habitatku. Biarkan saja musim berganti dingin. Aku pasti akan beradaptasi. Ya, kan Dama? Kan begitu logikanya!”
Saat itu hampir saja Damayanti tak mampu menahan tawanya. Namun ia memaklumi mengapa Wisnu berkata seperti itu.