RENJANA RIMBA

Joen YH
Chapter #11

Senja, Penanda Menuju Misteri

Senja itu hampir memasuki waktu salat magrib. Dari masjid besar Tulungrejo sudah terdengar tilawah Al Quran. Bima duduk sendirian dengan kikuk di kursi ruang tamu. Ia tidak enak hati karena harus bertamu di waktu yang tidak tepat. Hampir seharian Bima harus berkeliling ke seluruh sudut desa Tulungrejo. Yang terakhir ia datangi adalah dusun Junggo, tempat di mana Damayanti tinggal.

Dalam hati diakuinya jikalau pun instruksi yang diberikan Anton tidak mengharuskan datang ke rumah Damayanti, ia pasti akan tetap datang. Dengan sembunyi-sembunyi tentunya. Bima ingin tahu seperti apa kehidupan pribadi dari seorang Damayanti. Perempuan yang pertama kali mengajarinya cara menggunakan binokular dengan baik.

Bima mencuri-curi pandang melihat sekeliling ruang tamu. Tak ada hiasan dinding maupun pigura foto yang dipajang di dinding ruang tamu itu. Dindingnya dicat warna kuning gading. Tidak ada yang istimewa. Bahkan meja kursinya pun hanya meja kursi biasa yang terbuat dari bambu.

Belum selesai Bima memerhatikan keadaan ruangan itu, nenek Damayanti muncul dari ruang tengah. Gurat lelah tampak di wajahnya. Namun senyumnya yang tulus menyungging dengan anggun. Ia membawa nampan persegi. Di atasnya ada sepiring kue apel berbentuk bunga mawar yang sangat indah. Di sebelahnya ada secangkir kopi yang masih mengepulkan uap. Perlahan nenek Damayanti meletakkan nampan ke atas meja. Lalu ia duduk di kursi yang berseberangan dengan kursi yang ditempati Bima.

“Tadi naik apa kemari, nak? Kalau saja nenek diberitahu anak ini mau datang, pasti tadi dijemput. Cukup jauh kalau berjalan kemari dari gerbang Talun,” kata nenek Damayanti membuka pembicaraan. Suaranya terdengar begitu lembut di telinga Bima.

“Saya naik ojek dari terminal Batu. Lalu turun di gerbang Talun. Saya memang sengaja ingin berjalan kaki kemari,” jawab Bima malu-malu.

“Oh, begitu. Mari, silahkan diminum kopinya. Kuenya juga.”

Tiba-tiba Nenek Damayanti menyodorkan piring yang berisi kue itu.

“Ini kue Apel Mawar. Bahannya adalah buah apel dari kebun kami sendiri. Tadi siang saya membuatnya untuk Dama. Katanya ia rindu kue buatan ibunya. Dulu ibunya memang sering membuatkan kue ini. Cobalah, nak.”

Bima pun mengambil satu buah dari piring. Ia tak segera memakannya. Matanya memandangi keindahan kue itu. Terlihat benar di raut mukanya jika ia tidak tega untuk memakan kue itu. Nenek Damayanti tersenyum geli melihatnya.

“Nenek tinggal dulu ya, nak. Persiapan untuk salat magrib. Oya, kopinya segera diminum. Nanti akan cepat dingin. Suhu di sini dua kali lipat lebih dingin dari suhu di kota.”

Setelah Nenek Damayanti tak terlihat dari ruang tamu, Bima cepat-cepat mengeluarkan kameranya. Kue Apel Mawar ia tata sedemikian rupa. Lalu dipotret dari berbagai sudut.

Bima tenggelam dengan keasyikannya memotret. Tiba-tiba Bima tersentak. Tubuhnya seperti disengat listrik berjuta-juta volt.

Matanya menangkap sekelebat putih besar bergerak di sebelahnya.

Damayanti terkekeh.

“Aduh Bima! Kamu kira aku ini apa?”

 Lalu Damayanti menarik bagian bawah dari mukenanya. Kini terlihat dua kaki sedang menapak di lantai.

“Kuenya cantik kan, Bim? Itu kue kesukaanku. Agak sulit membuatnya. Kalau aku yang membuat hasilnya tidak akan secantik itu” ujar Damayanti sambil menghempaskan tubuhnya ke kursi.

Masih dengan memegang kameranya, Bima mulai memakan kue itu.

“Bagaimana, enak?” tanya Damayanti.

Bima tidak menjawab. Tiba-tiba ia berhenti mengunyah. Matanya menerawang jauh ke depan. Lalu mengunyah lagi.

“Wah!”

Bima terus mengunyah. Damayanti kembali terkekeh.

“Ah, sudahlah. Aku salat magrib dulu.”

Lihat selengkapnya