RENJANA RIMBA

Joen YH
Chapter #12

Radio Makobu FM

Seperti yang telah dilewati sejak lampau, suasana malam di sekitar rumah Damayanti tetaplah sama. Pertunjukan orkestra semesta oleh para serangga malam dan burung hantu. Lalu ketika musim hujan, akan bertambahlah anggota orkestra mereka. Ya, para katak jantan yang sedang menarik perhatian katak betina.

Setelah punggung Bima dan Lik Dirman tidak tampak di ujung tikungan, Damayanti dan neneknya masuk ke dalam rumah. Dama mengunci pintu depan dengan seksama lalu membereskan meja tamu. Sedangkan neneknya terlebih dulu masuk ke dapur.

Lho, nenek mau membuat kue Apel Mawar? Lagi? kan masih ada. Itu, Dama letakkan di rak makanan.”

 Damayanti menunjuk rak dari papan kayu yang berada di sudut dapur, di seberang meja yang ada kompornya. Rak kayu itu bertingkat dua. Dengan panjang satu meter dan tinggi kurang lebih satu meter. Lebarnya tak lebih dari empat puluh sentimeter. Biasanya makanan matang diletakkan di di tingkat paling atas. Sedangkan di tingkat bawah ada tempat penyimpanan beras yang berbentuk persegi. Lalu ada lagi kotak di sebelahnya. Di dalam kotak itu ada berbagai macam tepung yang masih utuh.

“Tadi nenek lihat Bima sangat menyukainya. Jadi nenek buatkan kue Apel Mawar untuk Bima. Katanya dia akan menginap di Malang hingga minggu depan,” kilah nenek Damayanti.

Dahi Damayanti mengerut mendengarnya.

“Sejak kapan nenek akrab dengan Bima?” suara Damayanti terdengar ketus.

Tak ada sahutan. Nenek Damayanti tetap melanjutkan tangannya menguleni tepung di meja makan. Apel yang sudah diiris-iris juga sudah berjajar rapi di talenan. Juga beberapa mangkuk kecil berisi bubuk kayu manis, gula pasir dan selai apel.

Damayanti duduk di hadapan neneknya. Raut mukanya menunjukkan rasa kesal yang mendekati marah.

“Lantas yang akan memberikan kue ini ke Bima siapa?”

“Siapa lagi, ya kamu tho nduk,” jawab neneknya itu santai.

Damayanti tidak mampu menahan kemarahannya yang sudah di ubun-ubun.

“Baiklah, Dama yang akan memberikannya kepada Bima. Tapi Dama minta tolong jangan menjodoh-jodohkan Dama seperti sebelum-sebelumnya. Nenek selalu begitu. Setiap kali ada yang nenek sukai, pasti ujung-ujungnya Dama yang akan kena getahnya. Lagi pula Dama masih belum lulus kuliah. Dama juga masih ingin bekerja. Juga masih banyak lagi yang ingin Dama lakukan. ”

Mulut Damayanti bergetar ketika melontarkan kalimatnya itu.

“Nenek hanya ingin melihatmu seperti perempuan pada umumnya. Bisa menikah dan punya keluarga. Nanti kalau Dama sudah tua siapa yang menemani? Siapa yang merawat?. Perempuan itu tergantung kepada laki-laki, nduk” kelit nenek Damayanti dengan tenang. Ia tidak peduli cucunya itu kini naik pitam.

Meskipun nenek Damayanti bisa menerima segala aktivitas yang dilakukan oleh cucunya, tetapi ia adalah wanita yang memegang prinsip bahwa semua perempuan itu harus menikah. Tidak peduli ia nanti menjadi janda, menjadi istri kedua atau bahkan istri keempat dan seterusnya. Menurut nenek Damayanti, selagi muda tidaklah mengapa cucunya bebas melakukan apa saja. Termasuk boleh menjadi sukarelawan di Wildlife Freedom Fighter. Akan tetapi, setelah masa mudanya lewat, perempuan harus menikah. Harus!

“Terserah nenek mau apa. Yang jelas, Dama tidak mau dijodoh-jodohkan. Oya, satu lagi. Perempuan mandiri tidak akan tergantung kepada laki-laki.”

Kemudian Damayanti meninggalkan dapur dengan perasaan yang sangat tersiksa. Ia tidak mungkin berdebat dengan neneknya yang jelas-jelas berbeda cara pandangnya.

Sesampai di kamarnya, ia membenamkan kepala di bantal. Detik berikutnya ia menjerit sekuat tenaga. Diulanginya terus hingga hatinya merasa lega.

Beberapa menit kemudian Damayanti bangkit dari tempat tidurnya. Kemarahannya mereda. Dengan beringsut Damayanti bergerak menuju meja kecil di sudu kamarnya. Duduk sebentar dan menghela nafas panjang.

Ah, betapa konyolnya aku marah kepada nenek,” batinnya.

Lihat selengkapnya