RENJANA RIMBA

Joen YH
Chapter #13

Gelatik Jawa dan Rahasia Dua Hati

 

Hiruk pikuk pasar Mergan pagi itu menjadi penanda dimulainya perputaran roda kehidupan di perbatasan kelurahan Pisang Candi dengan kelurahan Bareng. Damayanti yang hampir terjaga semalaman, memacu motornya dengan hati-hati melewati pasar Mergan. Meskipun begitu ia hampir saja menabrak seorang wanita yang membawa keranjang belanja. Ia menyeberang santai seolah tidak ada siapa pun di jalan itu.

Tak sampai lima menit motor Damayanti telah memasuki gerbang besar Lambau. Di halaman sebelah selatan gedung tua yang seluruhnya berwarna putih tulang, tampak motor Kuncoro telah diparkir di sana. Damayanti pun ikut memarkir motornya di sebelah motor Kuncoro. Si pemilik motor itu muncul dari halaman belakang gedung.

“Tadi Wisnu telepon. Katanya ia tidak bisa datang. Ada urusan keluarga,” kata Kuncoro.

Damayanti mengangguk. Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya. Tangannya sibuk memasang rantai di ban motornya.

“Kalian bertengkar?” selidik Kuncoro.

“Tidak. Kami tidak bertengkar. Oya, kita melakukan observasi terpisah atau bersama, om?”

Pertanyaan Damayanti itu terdengar seperti berkelit dari Kuncoro.

“Kita bersama-sama saja dulu selagi Anton belum datang,” jawab Kuncoro.

“Wah, tumben om Anton juga ikut.”

Akhirnya Damayanti dan Kuncoro mengeluarkan binokular. Keduanya pun memulai observasi.

Lokasi pertama yang mereka tuju adalah persawahan di bagian selatan. Sebenarnya mereka sudah hafal dengan jenis-jenis burung yang di temui di Lambau. Namun bisa jadi ada spesies burung yang belum dimasukkan ke dalam basis data Wildlife Freedom Fighter.

Uwok-uwok,turr-kruwak,per-per-a-wak-wak-wak.

Suara ribut datang dari arah sungai yang berada di tepian area persawahan.

Segera Damayanti mengisi tabel yang sudah ada di buku catatannya. Di kolom yang bertuliskan spesies, ia mengisinya dengan Kareo Padi. Lalu di kolom lokasi ditemukan, ia menuliskan tepi sungai area persawahan. Terakhir ia menambahkan 06.05 WIB di kolom waktu. Melihatnya, Kuncoro tersenyum.

“Ya beginilah, saintis kita. Nanti disalin lagi kan, Dama?” tanya Kuncoro kemudian.

“Iya. Nanti dipetakan. Sudah Dama buatkan peta buta Lambau,” jawab Damayanti tanpa menoleh ke Kuncoro. Tangannya masih membuat coretan-coretan di buku catatannya.

   “Nah, itu Anton. Oh, Bima juga datang!”

Kuncoro melambaikan tangannya ke arah dua orang yang masih berjalan menghampiri. Tangan Damayanti berhenti menulis. Kepalanya menoleh ke arah halaman bagian selatan gedung. Seolah ada magnet berkekuatan besar, matanya tertuju kepada laki-laki muda tinggi dan kurus yang berjalan di belakang Anton. Rambutnya yang panjang sebahu di ikat ke belakang. Ada sebagian rambutnya yang masih tergerai di samping wajahnya yang tirus. Tak lupa kacamata bulat bertengger kokoh di hidungnya yang mancung.

Damayanti merasakan ada yang aneh dengan dirinya. Debaran halus yang kini semakin kencang mulai menerjang seiring semakin dekatnya Anton dan Bima berjalan.

Kek-kek-kek-cekakak-cekakak-cekakak

Suara Cekakak Sungai yang melintas dari ujung tepi sungai menyadarkan Damayanti. Tangannya kembali bergerak menulis di buku catatannya.

“Bima langsung dari Surabaya?” tanya Kuncoro.

“Tidak, pak. Saya berangkat kemarin pagi. Tadi malam saya menginap di rumah cak Ibor,” jawab Bima yang kemudian menyalami tangan Kuncoro sambil membungkukkan badannya. Lalu menghampiri Damayanti dan mengulurkan tangannya.

Damayanti berhenti menulis. Disambutnya uluran tangan Bima.

Bukankah semalam dia ke rumah Wisnu?” batin Damayanti.

Lihat selengkapnya