RENJANA RIMBA

Joen YH
Chapter #14

Hutan Heterogen, Cekakak Jawa dan Benang Merah

Bima tidak mengerti mengapa kerimbunan seluas pekarangan di depannya itu disebut hutan oleh Damayanti. Dari jauh ia hanya melihat beberapa pohon besar setinggi 5 sampai 8 meter. Lalu semak belukar yang sangat rapat. Juga pohon pandan yang sudah sangat tua. Selebihnya adalah tumbuhan-tumbuhan merambat yang daunnya beraneka bentuk. Bima sama sekali tidak mendapatkan gambaran hutan sebagaimana yang ia pahami.

Damayanti bergerak menerobos semak belukar. Mau tak mau Bima mengikutinya meski tubuhnya bergidik. Ia tak bisa membayangkan bagaimana jika tiba-tiba ada ular yang muncul lalu menggigit kakinya. Belum lagi binatang-binatang kecil yang berbahaya.

Setelah melewati semak belukar yang cukup rapat, Damayanti menyibak sulur-suluran dengan dedaunannya yang kecil. Tiba-tiba Damayanti berhenti. Bima berdiri termangu di samping Damayanti. Ia tak menyangka di depan mereka ada sungai kecil yang airnya sangat bening. Di seberangnya, semak belukarnya lebih rapat dari sebelumnya. Tumbuhan merambat juga lebih banyak. Di sela-selanya tampak batang pohon yang cukup besar. Sinar matahari pagi tak tembus di tempat itu

Lagi-lagi Bima seperti tertipu. Di depannya kini memang hutan!

Damayanti menepuk bahu Bima. Tanpa bersuara, ia menunjuk ke salah satu sudut di seberang sungai itu. Bima mengikuti arah telunjuk Damayanti. Seketika Bima menahan nafasnya. Kedua matanya tak berkedip.

Di tempat yang ditunjuk Damayanti, bertengger seekor burung yang sangat sangat elok. Tubuhnya berwarna biru keunguan, kepalanya berwarna cokelat. Paruhnya besar berwarna merah. Begitu pula kakinya juga berwarna merah.

Belum pernah Bima melihat burung secantik itu!

Sesaat kedua orang itu menikmati keindahan yang disuguhkan di depan mata mereka. Perlahan telinga mereka hanya mendengarkan suara gemercik air yang mengalir. Suara-suara kendaraan di kejauhan sama sekali tidak menyentuh gendang telinga mereka.

Damayanti kembali menepuk bahu Bima dengan pelan. Lalu memberi tanda bahwa perjalanan harus dilanjutkan. Bima mengangguk.

Keduanya mengendap-endap menyusuri tepi sungai kecil itu. Tak lama kemudian langkah kaki mereka berujung di sebuah jembatan kecil.

“Kita naik saja ke jalan,” kata Damayanti sambil menaiki tebing sungai yang tak terlalu tinggi.

Dengan santai, Damayanti duduk di salah satu sisi jembatan yang bagiannya lebar. Bima pun ikut duduk namun di bagian seberang.

“Burung yang kita jumpai barusan namanya siapa?”

Bima mengeluarkan buku catatan Damayanti yang tadi ia masukkan ke dalam ransel.

“Cekakak Jawa. Untuk lokasi, kamu tuliskan tepi sungai hutan heterogen,” jawab Damayanti.

Bima pun menulis dengan cepat.

“Aku belum pernah melihat langsung dari dekat burung seindah itu di alam. Benar-benar elok. Si burung itu, e…Cekakak Jawa memang selalu ada di sini, Dama?”

“Dia sudah termasuk jarang ditemui. Jika kita bertemu dia, itu pertanda bahwa lingkungan di sekitarnya relatif sehat. Maksudku minim polusi. Baik itu sungai, tanah maupun udaranya,” jelas Damayanti.

Bima mangut-mangut.

“Dia selalu sendiri ya?”

Rupanya Bima masih penasaran.

“Iya. Mereka cenderung soliter dan introvert. Tapi ketika mencari makan atau ketika musim kawin, mereka juga bisa berkelompok. Tapi dalam kelompok yang sangat kecil,” jelas Damayanti.

Lagi-lagi Bima mangut-mangut. Tangannya merogoh saku bajunya. Lalu mengeluarkan buku sakunya yang kecil. Dengan cekatan ia menulis semua yang dikatakan Damayanti. 

 “Bim, aku boleh bertanya sesuatu yang pribadi?” tanya Damayanti. Suaranya terdengar hati-hati.

Lihat selengkapnya