RENJANA RIMBA

Joen YH
Chapter #16

Dhuarrr!

Lambau tampak tak seperti biasanya. Banyak kerumunan memenuhi hampir seluruh halaman di sekitar gedung. Wajah-wajah dalam kerumunan itu begitu semringah. Rata-rata mereka tampak masih muda sekitar dua puluhan tahun. Bahkan ada juga yang seusia anak kelas enam sekolah dasar. Namun ada juga yang sudah berumur lima puluhan meski hanya segelintir.

Kerumunan itu membentuk kelompok-kelompok. Ada yang kelompok kecil, ada pula kelompok besar. Ada yang berdiri berkelompok di bagian selatan halaman gedung, ada yang duduk melingkar berkelompok di halaman depan dan ada pula yang baru datang berbondong-bondong dengan rombongannya.

Spanduk besar bertuliskan selamat datang untuk peserta birdrace, dipasang membentang di gerbang masuk Lambau. Orang-orang yang melintas di sepanjang jalan Ir. Rais melihat spanduk itu dengan pandangan tanda tanya. Lalu melirik ke halaman yang penuh dengan kerumunan.

Para mahasiswa yang datang tak hanya dari kampus-kampus yang berada di Malang. Dari luar kota juga tidak mau ketinggalan. Ada yang dari Surabaya, Jember, bahkan Jogja juga datang. Mereka ada yang memakai pakaian kebanggaan yang mewakili organisasi masing-masing. Ada pula yang berpakaian kasual namun senada.

Yang unik adalah sekelompok bapak-bapak yang memakai baju ala pesilat dengan kancing dibuka menunjukkan kaos biru bergambar singa. Di kepala mereka terpasang udeng yang bermotif sama.

“Aku dengar birdrace ini diadakan untuk melindungi Lambau,” bisik salah seorang peserta kepada kawan-kawannya yang berdiri di bagian selatan halaman gedung.

“Oya? Memang apanya yang dilindungi? Lambau kan begini-begini saja,” sahut lainnya.

“Eh, jangan salah. Yang mengincar banyak lho,” kata satunya lagi.

Lalu si pembisik pertama pun membuka mulutnya kembali.

“Sudah rahasia umum, Lambau diincar developer. Masalahnya sudah lama sekali. Bahkan sudah terjadi sejak kita masih SMA!”

“Sst, hati-hati kalau bicara,” tukas lainnya.

Bima yang sedang berjalan melewati kelompok itu mendengar semua apa yang diperbincangkan mereka. Tak ada ekspresi apa pun di wajahnya. Namun apa yang didengarnya telah ia rekam baik-baik di sel otaknya.

Bima terus melangkahkan kakinya hingga halaman depan. Matanya yang tajam bisa melihat Damayanti dan Wisnu yang sibuk dengan pendaftaran ulang para peserta. Wisnu terlihat segar. Sepertinya kesehatannya telah pulih setelah ia melalui proses kateterisasi jantung. Sedangkan Damayanti tampak semringah. Kedua matanya berbinar, senyumnya lebar sekali hingga kedua pipinya semakin membulat.

Sejenak mata Bima tak berkedip. Kemudian dengan cepat ia membidikkan lensa kameranya ke arah Damayanti. Ia tak menyia-nyiakan momen itu.

Tiba-tiba ada yang menepuk bahunya dari belakang.

“Wah, mas wartawan sedang beraksi.”

Bima menoleh.

“Cak Ibor! Ikut juga Cak?” tanya Bima semringah.

Bima menyalami cak Ibor dengan singkat dan erat lalu saling beradu bahu.

“Tentu. Tuh, mereka juga ikut,” jawab cak Ibor sambil menggerakkan kepalanya ke belakang.

Lima orang mengenakan kaos hitam, celana pensil dan sepatu lars menyeringai riang kepada Bima. Rambut mereka yang biasanya dimodel Mohawk10 dan Liberty Spikes11, kini disisir rapi.

Sontak Bima tersenyum lebar. Seperti halnya kepada cak Ibor, Bima pun menyalami dan beradu bahu dengan mereka.

“Semalam menginap di mana?” tanya cak Ibor.

“Saya langsung berangkat dari Surabaya, Cak. Tadi sebelum subuh,”

“Oh, begitu. Nanti kalau tidak langsung pulang, menginap di rumahku saja. Oya, jangan lupa kami difoto ya?,” ucap Ibor sambil meninggalkan Bima yang diikuti lima kawannya.

“Siap, cak!”

Lihat selengkapnya