RENJANA RIMBA

Joen YH
Chapter #20

Allah menunggumu, Bima!

Lampu-lampu di sepanjang jalan Talun tampak menguning. Kabut turun menyapu hampir seluruh tanah dusun Junggo. Hari sudah melewati senja. Bahkan azan magrib sudah sejak tadi dikumandangkan dari masjid besar Tulungrejo.

Sepeda motor Anton yang dikendarai Bima telah memasuki jalanan berbatu di dusun Junggo. Bima memperlambat laju motor. Sepeda motor itu pun terguncang-guncang. Di balik punggung Bima, Damayanti sudah terlihat kembali seperti biasa. Isak tangisnya telah lama berhenti. Rupanya ia menumpahkan segalanya selama di perjalanan.

“Nanti sebelum kembali ke Malang, makan dulu ya Bim. Kubuatkan mi kuah andalanku. Mi instan soto yang ku racik dengan istimewa,” kata Damayanti. Suaranya terdengar ringan.

Bima tertawa kecil.

“Eh, serius. Kutambahkan tiga jenis bawang-bawangan, sayuran hijau, sayuran berkarotena. Lalu protein hewani dan yang pasti si paling penggugah semangat yang berwarna merah menyala,” lanjut Damayanti riang.

“Si merah menyala maksudnya cabai?” tanya Bima geli.

“Siapa lagi,” jawab Damayanti pendek.

Bima terkekeh.

“Ya deh. Akan kubuktikan seberapa istimewanya mi kuah buatanmu.”

Motor mulai membelok di tikungan sebelum rumah Damayanti. Dari kejauhan tampak ada mobil jip hitam di parkir di halaman rumah Damayanti.

“Rupanya ada tamu di rumahmu, Dama,” ujar Bima.

Damayanti tidak menyahut. Kepalanya melongok dari balik punggung Bima. Kedua alisnya bertaut. Damayanti mengenali mobil jip yang berada di halaman rumahnya. Itu adalah mobil jip kepunyaan Martin, sepupu dari pihak nenek. Martin adalah cucu adiknya nenek. Hati Damayanti kembali keruh. Ia ingat betul bagaimana dirinya pernah diusir dengan alasan dirinya bukan cucu kandung nenek. Ayah Damayanti adalah anak angkat nenek. Meski nenek sangat melindunginya, tapi itu tidak bisa menutupi kenyataan bahwa dirinya memang bukan cucu kandung nenek.

Bima terus mengendarai motor dengan tenang lalu memasuki halaman rumah Damayanti. Damayanti turun perlahan. Wajahnya terlihat suram. Bima pun memperhatikannya.

Terdengar suara orang bertengkar dari dalam rumah Damayanti. Nenek Damayanti menjerit di antara tangisnya. Lalu suara seorang laki-laki yang keras menghardik. Mendengarnya, tubuh Damayanti menjadi kaku. Kedua telapak tangannya gemetaran. Bibirnya pun bergetar.

Bima memegang pelan lengan Damayanti. Lalu ditatapnya kedua mata Damayanti yang kini terlihat berair.

“Kau baik-baik saja?” Bima benar-benar cemas.

Damayanti mengangguk samar. Bagi Bima, itu menandakan bahwa Damayanti dalam keadaan yang tidak baik.

Bima pun memberanikan diri memegang kedua tangan Damayanti yang masih gemetaran.

“Tadi kau sudah menumpahkan air matamu hingga kering. Inilah saatnya kau tegakkan kepalamu. Jangan takut, aku akan tetap di sini menemanimu,” ucap Bima meyakinkan Damayanti.

Seolah ada magisnya, kalimat Bima melecut Damayanti. Tiba-tiba muncul kekuatan yang membangkitkan hati dan jiwa Damayanti.

Damayanti mengangguk mantap. Tangannya tak lagi gemetaran. Ia pun melangkahkan kakinya menuju pintu. Bima mengikutinya di belakang.

“Nah, ini! Ini! Benalu yang masih saja dibiarkan hidup di rumah ini!”

Seorang laki-laki yang umurnya tak beda jauh dengan Damayanti dan Bima, berteriak dengan mata memelotot. Telunjuk tangan kirinya di arahkan ke Damayanti yang masuk ke dalam ruang tamu.

“Eh, siapa lagi ini! Benalu baru?!” teriak Martin sambil menuding ke arah Bima yang masih di belakang Damayanti. Bima cukup tahu diri. Ia pun membalikkan tubuhnya dan melangkahkan kakinya keluar.

“Jaga mulutmu, Martin! Kau sudah sangat keterlaluan!” jerit nenek Damayanti.

“Cukup!” tukas Damayanti dengan suara tegas.

Lihat selengkapnya