Renjani berdiri di ambang pintu. Udara dingin Cipanas menyergap, membawa serta aroma tanah basah dan pinus. Di dalam, villa itu sunyi dan remang-remang.
Tiba-tiba, dari balik tiang penyangga ruang tamu, Adam muncul. Sang suami yang sudah dua tahun lamanya ia tak jumpa itu mengenakan kaus biru tua yang sedikit melonggar dan rambut yang lebih pendek.
Mereka terdiam selama sepersekian detik. Adam menahan napas. Ia melihat Renjani berdiri di sana—rambutnya yang sebahu tampak sedikit berantakan karena perjalanan, tetapi hal itu hanya menonjolkan kilau matanya yang cokelat gelap, memantulkan cahaya lampu dinding. Adam memperhatikan garis hidungnya yang tegas dan bagaimana sudut bibirnya membentuk senyum yang dulu selalu ia tiduri setiap malam. Ia melihat jejak usia dan sedikit kelelahan di bawah matanya, tetapi itu justru membuatnya tampak lebih nyata, lebih utuh.
Renjani tidak bisa menahan diri. Ia menjatuhkan tas tangannya dan berlari.
Renjani: "Adam!"
Adam: "Cintaku..."
Renjani: "Hmmm, aku rindu."
Adam menyambutnya, memeluknya erat-erat. Pelukan itu erat, kokoh, dan bergetar. Wajah Renjani tenggelam di ceruk leher suaminya. Setelah menghirup dalam-dalam aroma maskulin Adam, Renjani menempelkan bibirnya di kulit leher Adam, hanya menahan napas sejenak, seolah ingin menyerap dan merasakan aroma itu lebih lama di indranya. Inilah aroma rumah yang sesungguhnya.
Ketika mereka melepaskan diri, Adam menangkup wajah Renjani, ibu jarinya membelai pipinya. Adam menikmati sentuhan lembut itu; kulit Renjani terasa sejuk dan halus di bawah telapak tangannya, sangat berbeda dengan tekstur kasar benda-benda yang ia sentuh di tempat dinasnya.
Adam: "Bukan main. Kamu tak berubah."
Renjani: "Kamu... jadi lebih tampan," Renjani terkekeh berusaha bercanda, meski matanya masih berkaca-kaca.
"Betapa cantiknya istriku," bisik Adam.
Mereka duduk berdekatan di sofa beludru tua. Adam meraih tangan Renjani, menyatukan jari-jari mereka, menikmati keheningan yang penuh makna.
Langit di luar telah berubah menjadi biru gelap, pekat, dan dingin menusuk. Adam dan Renjani pindah ke beranda kayu kecil yang menghadap ke kebun. Di pekarangan bawah, api unggun kecil sudah menyala. Cahayanya yang jingga kemerahan menari-nari liar, membuat bayangan mereka ikut bergerak.
Adam menyajikan makan malam sederhana: sate maranggi, nasi hangat, dan teh jahe. Mereka duduk berhadapan. Aroma sate yang manis dan sedikit gosong bercampur dengan pedasnya uap teh jahe panas yang mengepul ke udara.
Renjani: "Ini sempurna, Dam. Aku nggak minta yang lain. Cuma ini."
Adam: "Aku tahu. Dua tahun ini, Cinta, aku cuma mikirin saat kita bisa duduk begini lagi." Adam tersenyum.
Setelah menghabiskan makan malam, mereka bergeser. Adam duduk di sisi Renjani, merangkulnya, dan menarik selimut wol tebal untuk membungkus mereka berdua. Mereka memandang ke bawah, ke arah api unggun. Suara kayu bakar yang sesekali berderak dan meletup menjadi musik latar mereka.
Adam: "Lihat api itu, Ren. Mau sekencang apa pun angin yang berhembus, dia akan tetap menyala, membakar apa yang ada di dekatnya."