KALAU ada orang yang bilang beda istri beda rezeki, aku percaya itu dan bersyukur bisa menikah dengan Alam. Meskipun kami harus pindah ke rumah baru dan meninggalkan rumah tua yang sudah ditempati Alam belasan tahun yang lalu. Iya. Sejak Alam lahir dan jauh sebelum orangtuanya menikah. Karena itu rumah peninggalan orangtua dari Mamanya dulu.
Sekarang aku sudah jadi istri muda alias istri pertama Alam Prada yang sudah menikah di usia 23 tahun, tepatnya tujuh tahun yang lalu dan aku harus bersyukur karena laki-laki yang kunikahi ini nggak pernah macam-macam. Sebagai mamah-mamah muda, aku kadang takjub sendiri karena bisa hidup bareng mertuaku dengan damai dan setiap Subuh aku sudah pergi ke pasar agar bisa membeli bahan-bahan membuat isian bekal yang lucu dan enak, dan menyetrika pakaian kerjanya.
Tadinya kupikir bisa satu minggu sekali pergi ke pasar. Tapi resiko tinggal sama mertua, kulkas nggak boleh terisi penuh dan setiap bahan masakan nggak boleh sampai berhari-hari dan membusuk. Padahal dinginnya kulkas kadang-kadang kalah dingin sama ucapan mertuaku. Tapi aku sudah memilih Alam dan mau nggak mau takdir ini kutelan saja sendiri. Syukur-syukur aku nggak ditinggal Alam berminggu-minggu untuk dinas kerja dan masih bisa bertahan cuma berduaan sama mertua selama kurang-lebih sembilan jam saja di rumah ini.
Sampai rumah, aku masih bisa me-time dengan maskeran sambil mengurus rumah seperti mengatur asisten rumah tangganya untuk nyapu, ngepel, dan perkara bebersih lainnya. Beruntungnya jadi istri Alam, tak hanya itu. Entah ini memang keberuntungan atau bukan, aku nggak peduli pandangan keluargaku dengan kehidupan sederhana yang kujalani ini.
Tapi sepulangnya Alam dari kantor, aku selalu melihatnya ada di rumah karena dia nggak pernah keluyuran ke mana-mana, dan nggak pernah marah-marah juga. Cuma satu kurangnya, kami masih harus tinggal sama Mamanya. Aku yang terbiasa bangun siang sejak remaja sekarang harus bisa jadi morning person yang mesti serba sanggup melakukan apa saja di rumah baru ini.
Setelah pindah dari rumah lama kami dan tinggal satu minggu di rumah yang baru ini, kadang-kadang aku masih sulit menyesuaikan diri. Padahal setiap pagi aku sudah pergi ke pasar, menyiapkan bekal, ditinggal pergi ke kantor sama Alam.
Baru saja aku ingin mengantar Alam ke teras, ponselku berbunyi. Dari Mama mertuaku. Walau hujan badai turun sekarang, aku tetap harus mengangkatnya. “Ya, Ma?” sapaku sambil me-loudspeaker ponselku agar Alam ikut mendengarnya.
“Mel, nanti abis anter Alam ke depan, kamu ke kamar Mama ya. Ada yang mau Mama tanyain.”
“Oke, Ma. Aku kembali melirik Alam.”
Setelah Bu Lika memutus teleponnya, aku menatap Alam penasaran. “Mama kamu mau nanya apa ya, sayang?” tanyaku.