Komplek Perumahan Lestari, Tangerang…
1 Maret 2024.
“SEKARANG kamu dengerin dulu aja apa yang mau direnov,” saran Alam saat aku meneleponnya.
“Ya, udah. Aku ketemu Mama dulu nih!”
“Iya. Nanti kabarin aku lagi. Sebentar lagi aku sampai kantor.”
“Oke. Hati-hati ya.”
Setelah Alam menutup teleponnya, aku kembali masuk ke rumah tanpa perasaan galau lagi dan membuat aku ingin menelepon Alam sebelum bicara sama Mamanya. Karena benakku masih tanda tanya setelah membaca pesan singkat Mama yang ingin merenovasi rumah ini.
Karena Alam harus bekerja, mau nggak mau cuma aku dan asisten rumah tangga kami yang bisa menemani Mamanya di rumah sampai detik-detik kami pindah ke rumah baru.
Mungkin itu yang membuat Mama Alam jadi merasa lebih dekat denganku dan terus mengandalkan aku. Karena sehari-hari kami selalu bertemu di rumah ini, dan Mama Alam selalu menanyakan soal apa pun padaku. Termasuk masalah rambutnya yang semakin lama semakin menipis dan aku nggak tahu apa jalan keluarnya.
Sekarang Mama Alam bukannya pergi berobat malah punya ide untuk merenovasi rumah yang menurutku nggak perlu diperbaiki. Aku hanya menatapnya setelah masuk ke kamarnya. “Renovasi apa, Ma?”
“Dinding halaman belakang rumah kita ini, sayang.”
Aku sejenak membayangkan dinding yang dimaksud Mama. Perasaan rumah ini sudah punya dinding yang memisahkan rumah kami ini dengan rumah tetangga belakang. Kalau halamannya ingin jadi bagus, kayaknya kami sudah punya taman yang sederhana di depan rumah. Tapi aku cuma bisa menatapnya heran karena belum paham maksudnya. Aku ingin sekali Mama memanggil tukangnya sendiri untuk mengerjakan ambisinya itu.
“Apa nggak buang-buang uang, Ma?” tanyaku akhirnya. “Dindingnya memang butuh renov,” kataku. Karena aku melihat warna putihnya sedikit menghitam karena jamur, kotor, dan catnya ada yang terkelupas. “Tapi tinggal dicat ulang aja, Ma. Nggak perlu renov besar, kan?” lanjutku.
“Nggak, Mel. Kita perlu renov. Biar nggak polos-polos amat,” Mama Alam bersikeras.
Aku cuma bisa mengangguk pasrah kalau dia sudah berkata seperti itu. Karena bayangan Mama Alam tentang halaman belakang tak sejalan dengan pikiranku. Entah kenapa aku jadi merasa dia hanya sedang kelebihan uang saja dan ingin melepas kebosanannya atau dinding polos itu memang salah satu yang perlu diperbaiki oleh Mama Alam.
Aku nggak heran kenapa dia tiba-tiba punya keinginan untuk merenovasi rumah kami ini. Selama ini dia memang nggak bisa melihat hal-hal yang mengganggu menurut pandangannya. Kalau aku atau Alam nggak menurutinya, kami bisa tak diacuhkan berhari-hari seolah-olah keberadaan kami memang nggak ada di rumah ini.
Tak lama, ponsel Bu Lika berdering. Apa mungkin itu dari Alam? Soalnya saat Mama Alam melihat-lihat layar ponselnya, aku sudah memberi pesan WhatsApp ke Alam dan memberitahu permintaan ibunya ini.
“Assalamu’alaikum, Ma?”
Oh, dugaanku benar. Itu suara Alam.
“Walaikumsalam, anak Mama yang paling ganteng,” seruan Mama sontak membuatku ingin menahan tawa walau itu benar. Dia memang selalu senang menyapa anaknya dengan pujian.
“Kebetulan kamu telepon. Dari tadi Mama udah bahas sama Melin. Tapi belum tanya ke kamu, karena takut kamu udah mulai kerja.”