Rentang dan Rajut

Cicilia Oday
Chapter #1

Kepompong Besar yang Bernapas


Saudara laki-laki ketiga (1998)


Adik perempuanku, Rema, meringkuk di dalam buntalan putih-kelabu seperti kepompong. Setidaknya inilah mimpi pertamaku tentang dirinya sejak ia meninggalkan rumah untuk ikut dengan suaminya ke Jakarta. Di mimpi pertama, tubuhnya yang meringkuk tak berdaya dilingkari serat-serat tipis yang sepintas tampak seperti jalinan benang. Di mimpi selanjutnya, serat-serat yang menyerupai benang itu mulai menutupi tubuhnya secara samar dari leher hingga ke bawah pinggang. Di mimpi selanjutnya, benang-benang itu belum menutupi sekujur tubuhnya dengan sempurna tapi ketebalan balutannya mulai terlihat dan sebuah pola mulai terbentuk.

Waktu itu aku tak pernah menceritakan mimpi-mimpi ini pada siapa pun, bahkan cenderung mengabaikannya saat siang hari, dan tak ingin repot-repot memikirkan maknanya. Sampai suatu hari datang sepucuk surat dari sebuah organisasi yang menamakan diri sebagai Tim Gabungan Pencari Fakta dan Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Kakak sulung kami, Frans, yang pertama kali membuka dan membaca surat itu, mendahului ayah kami yang saat itu masih berada di sekolah, tempatnya mengajar sebagai guru mata pelajaran Sejarah. Singkat kata, isi surat itu mengabarkan tentang situasi dan kondisi Rema (dalam surat ditulis nama lengkapnya Karema Indira Pinontoan) dan bagaimana dalam waktu dekat, tim gabungan bersama tim relawan untuk kemanusiaan akan mengusahakan kepulangan adik kami setelah kondisinya membaik. Dahi-dahi berkerut terlihat di wajah setiap orang seiring berpindahnya surat dari satu tangan ke tangan lain (ini penting sebelum kami bisa memastikan apakah surat itu bisa dilanjutkan pada ibu).

Sesuatu yang paling ditakuti semua orang dalam keluarga akhirnya menampakkan wajah. Kami tahu bahwa hari-hari itu di pulau Jawa berlangsung demonstrasi besar-besaran yang didalangi oleh para mahasiswa, berbuntut kejatuhan korban-korban dan kerusuhan yang hanya dapat kami saksikan lewat layar televisi dan halaman-halaman koran daerah. Tak satu pun berita rela kami luputkan dari tempat tinggal kami di pinggiran kota Manado. Seolah apa saja yang tertulis dan diberitakan dari ibu kota adalah tentang adik perempuan kami. Siapa sangka wajah terror yang kami antisipasi setiap hari bukan lagi berwujud artikel-artikel koran ataupun reportase berita yang tak membutuhkan sebuah nama penerima, melainkan sehelai surat yang memang ditujukan untuk orangtua kami.

Yang membuat kami semakin tak mengerti adalah (1) Kenapa surat itu harus ditulis oleh sebuah organisasi, dan bukan oleh seseorang yang dekat dengan adik kami; (2) Kenapa di dalam surat tidak disebutkan nama Harianto Setiawan, suaminya Rema, seolah adik kami hanya seorang diri di tengah belantara ibu kota yang dingin dan kejam.

Sayangnya di masa itu tiada cara bagi kami untuk bisa memastikan dan mengonfirmasi isi surat tersebut langsung pada Rema; jaringan telepon baru masuk ke daerah kami pada awal 2000-an. Kami menelan isi surat itu dengan perasaan tak berdaya. Rasa takut bercampur cemas bercampur marah bercampur sedih, beriak di antara aku dan saudara-saudara lelakiku.

Aku pun teringat mimpi-mimpi berulang tentang Rema, dan untuk pertama kali, suatu firasat buruk mengganggu pikiranku.

Kami memutuskan menunggu sampai Papa pulang. Beliaulah yang akan memikirkan cara menyampaikan kabar itu pada Ibu kami.



Rema dilahirkan ketika bulan purnama sedang cantik-cantiknya di langit; ketika orangtua kami telah memiliki tiga orang anak laki-laki dan hal terakhir yang mereka dambakan di dunia ini adalah memiliki seorang putri; ketika aku dan kedua saudaraku berjanji akan menjaga dan melindungi adik perempuan kami sebagai nyawa pertama--sedangkan nyawa kami sendiri tinggal menjadi hal yang kedua.

Tak hanya keluarga inti, keluarga besar dari kedua belah pihak orangtua kami merayakan kelahiran Rema. Ucapan selamat, doa, kunjungan dan hadiah-hadiah terus berdatangan hampir selama tiga bulan pertama kelahirannya. Selama itu ibu dan ayah sampai tak merasa harus membeli banyak pakaian dan perlengkapan bayi sebab semuanya sudah tercakup dalam bingkisan-bingkisan yang mereka terima.

Kebetulan--setidaknya aku menilai ini sebagai kebetulan--Rema memiliki perpaduan wajah seorang noni Belanda dan boneka lucu Tionghoa. Bola matanya cokelat seperti lelehan madu, pipinya memiliki lekukan buah apel, bibirnya semerah permen karet, senyumannya membuat bulan purnama sekalipun merasa terintimidasi. Sungguh wajah seorang Keke Minahasa dalam versi terbaiknya. Seorang bibi dari pihak Mama bahkan secara berlebihan percaya bahwa Rema adalah titisan Ibu Spiritual Suku Minahasa, yakni Karema, dari mana adik perempuan kami dinamai.

Seiring usianya menanjak dewasa, kecantikan Rema menjadi kekhawatiran khusus bagi kami, tiga orang kakak lelakinya. Tak ada pemuda yang akan berani mendekatinya tanpa lebih dulu berusaha merebut hati kami bertiga; dan bila ada tanda-tanda kami mulai tak lagi menyukai kawan lelaki itu, ia akan cepat-cepat mundur dan menghilang dari muka bumi sebelum harus membuat perhitungan serius dengan kami. Kami bertiga, tak terkecuali ayah dan ibu, terlalu fokus menjaga dan melindungi Rema sampai tak ada seorang pria baik pun yang berani mendekat. Ketika teman-teman perempuannya banyak yang sudah menikah di usia dua puluh lima, Rema masih lajang dan seluruh energi hidupnya hanya tercurah pada pekerjaan. Namun pada pertengahan 1997, gelombang PHK menyapuh puluhan hingga ratusan karyawan sebagai dampak tak terhindarkan dari krisis moneter. Bank swasta tempat Rema mengadu nasib salah satunya yang tak bertahan dari badai krisis.

Lihat selengkapnya