2022
Chan tak menyukai warna awan yang berkelumun di kaki langit pada hari ia melakukan perjalanan menuju Pondok bersama pasangan Tuk dan Yul. Sebuah isyarat buruk seolah tengah mengintai--dan menunggu di balik tikungan untuk memberi kejutan. Padahal ia menaruh harapan besar pada perjalanan kali ini. Ia telah menantikan perjalanan ini berbulan-bulan lamanya. Baru sekarang akhirnya ia diizinkan oleh sang Nenek karena liburan sekolah telah di depan mata.
Tuk dan Yul mengurus pondok milik sang Nenek yang terletak di tengah sebuah perkebunan, berjarak sekian jam perjalanan dari kota tempat Chan dan neneknya tinggal. Kebun sang Nenek hanya menghasilkan panen durian montong dan palawija setahun sekali tapi alasan pasangan Tuk dan Yul senantiasa tetap menempati Pondok adalah untuk menjaga dan mengurus kolam-kolam ikan di dalam lokasi perkebunan itu. Di sana, terbagi dalam beberapa kolam, beberapa jenis ikan air tawar dipelihara; ikan mas, ikan mujair, ikan nila, ikan leleh, belut...
Chan tak mengerti kenapa ikan-ikan harus dijaga; toh mereka tak punya kaki untuk melarikan diri. Tapi Tuk bilang ikan-ikan tak bisa mencari makan sendiri jadi ia dan Yul harus ada di sana untuk memberi makan ikan-ikan setiap hari dan membersihkan kolam-kolam setidaknya seminggu sekali. Lagipula, Yul berkata, sudah banyak 'orang luar' yang tahu tentang kolam-kolam ini. Sekali mereka mabuk, lapar, dan tak punya uang, sekurangnya lima ekor mujair akan pindah ke dalam perut orang-orang tak bertanggung jawab itu. Bila dibiarkan seperti itu terus menerus, lama-lama Nenek bisa merugi dan kolam-kolam ikan pun bukan tak mungkin akan ditutup.
Ini bukan pertama kali Chan datang ke lokasi perkebunan neneknya. Dulu sekali ia pernah ikut Sang Nenek kemari saat musim panen durian. Waktu itu kolam-kolam belum sebanyak sekarang dan ikan-ikan yang dipelihara hanya untuk konsumsi sendiri, tidak dipasarkan. Perjalanan pertama itu membekaskan kesan yang mendalam di hati Chan. Setiap kali Tuk dan Yul datang ke kota untuk mengambil beras dan beberapa bahan makanan, ia akan mematut diri mendengarkan cerita kedua penjaga kebun itu; tentang sungai kecil yang mengaliri perkebunan, tentang ayam-ayam dari kebun tetangga yang suka mencari cacing di dekat kolam leleh, tentang hujan yang membuat tiang-tiang kayu pondok jadi lembap. Meskipun begitu tak banyak kesempatan bagi Chan untuk bisa menginjakkan kaki kembali ke lokasi perkebunan. Karena itu hatinya meluap gembira ketika kali ini Sang Nenek tak hanya mengizinkan ia berkunjung tapi juga menginap bersama Tuk dan Yul selama liburan sekolah.
Bila dipikir-pikir, Chan telah menantikan perjalanan ini sepanjang masa kecilnya. Tak ada yang paling ia dambakan selain mengalami kehidupan sunyi dan damai di tengah kebun, di mana setiap menit bisa menjadi petualangan.
Pick up yang mereka tumpangi berguncang ketika melewati ruas jalan yang berlubang di daerah perkebunan. Air keruh menciprati sisi luar kaca penumpang. Chan, terapit di antara Yul dan sopir neneknya, mengalihkan pandangan dari kaki langit, berusaha tak terlalu memikirkan awan kelabu yang semakin gelap. Pada saat-saat seperti ini, ia seharusnya tak menjejali kepalanya dengan berbagai pikiran tak berguna, dan terutama, berhenti merasa khawatir--Chan mengingatkan diri. Jadi ia memutar kepala dan menoleh ke belakang pada sebidang kaca yang membatasi sisi dalam mobil dengan sisi luar, mendapati wajah cembung Tuk yang balas memelototinya dari atas bak lalu menjulurkan lidah.