"Harusnya Mas Joko tidak usah repot-repot" tukas Tini. Wanita itu sudah tiga bulan terakhir tidak keluar rumah. Sesekali berkeliaran membeli persediaan kulkasnya. Ia bahkan tidak lagi bicara dengan Mas Joko, bapak tua yang tinggal di sebelah rumah Tini. Padahal dahulu mereka akrab, apalagi ketika Burhan sedang mencuci mobil tua kesayangannya. Hari ini, Mas Joko berkunjung karena khawatir pada keadaan Tini, ia kehilangan banyak lemak tubuh selepas Burhan berpulang.
Sebenarnya, tidak ada yang tahu keadaan Burhan. Kabarnya tubuhnya sudah hancur termakan hewan-hewan di hutan ketika tugas. Menjadi Tentara memang bukan perkara mudah, apalagi berhubungan dengan nyawa. Menikah dengan pasukan negara artinya kau siap janda atau siap mencari pria lain. Tetapi tetap saja, cintalah yang membawanya sampai ke sini, berdiri dengan kaki yang lemah dan hati yang tegar.
"Kau baik-baik saja,Tin?" Tanya Mas Joko. Mereka duduk di depan rumah pagi itu. Melihat ke halaman yang luasnya kira-kira sebesar lapangan Futsal. Dulu tempat akhir pekan yang menyenangkan, tawa menjadi penghubung antara mereka serta aroma kopi dan kue buatan Tini yang menyemarakkan pagi akhir pekan. Tetapi, hari ini hanya tertinggal kenangan, bayang-bayang yang tidak lekas pergi ketika ia mulai bangkit. Bayang yang tidak lekas beranjak ketika ia mulai merangkak. Alih-alih menjadi tegar, rumput serta matahari seperti menyerangnya dengan duri tajam. Kedatangan Mas Joko hari ini, antara duka dan bahagia. Sudah lama ia tidak bertemu pak tua yang sudah seperti Ayahnya sendiri itu, sementara di sisi lain Mas Joko seperti membentang kembali monokrom yang sudah lama di buangnya, lebih tepatnya berusaha di buangnya.
"Aku membawa titipan pos, Tin" Mas Joko meletakan kotak karton di atas meja.